Jumat, 21 Oktober 2011

Teori Belajar yang Berpijak pada Pandangan Kontruktivisme dan Landasan Filosofisnya


TUGAS MANDIRI
 Teori Belajar yang Berpijak pada Pandangan Kontruktivisme dan Landasan Filosofisnya





Diampu oleh
Prof.Dr.H.Karwono, M.Pd
Disusun oleh:
Putri Asmarani          10311644
Rudi Kuntadi                        10311650
Sholehudin Ma’ruf   10311655
Sidiq Widodo             10311656
Susiasih Pratiwi         10311661
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH  METRO
2011



KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan hanyalah milik allah SWT. Tuhan semesta alam yang sampai saat ini masih memberiakn limpahan kasih dan sayangnya kepasa kita dan khususnya kepada kami karena dapat menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Belajar dan Pembelajaran,dengan judul Teori Belajar yang Berpijak Pada Pandangan Kontruktivisme dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran”.
Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.H.Karwono, M.Pd.selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami dan kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan tugas ini,untuk itu kritik dan saran sangat penysun perlukan demi perbaikan kedepannya. Terakhir kami berharap semoga penyusun makalah ini akan dapat memberikan manfaat khususnya bagi kami.
  
Metro, 18 Oktober 2011
Penulis





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................     i
KATA PENGANTAR.....................................    ii
DAFTAR ISI....................................................    iii
BAB I PENDAHULUAN................................   1
BAB II PEMBAHASAN.................................     3


A. Pengertian Kontruktivisme..................      3
B. Ciri-ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme..............       4
C. Tujuan Pembelajaran Kontruktivisme...............      4
D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme.................................      4
E. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme...    5
F. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.....        7
G. Teori Belajar Konstruktivisme....................      9
H. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivisme............      10
I. Implikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran.................            12
J. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar..............      13
K. Proses Belajar Menurut Kontruktivisme....................       13
L. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme...       14

BAB III PENUTUP.........................       15
DAFTAR PUSTAKA






BAB 1
PENDAHULUAN
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning)Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ideTeori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Adapun proses tersebut diantaranya :
  1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
  2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
  3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
  4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Kontruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidupyang berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori.
Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi oranglain.Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hallain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
B.     Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Kontruktivisme
  • Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya
  • Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
  • Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambilkira sikap dan pembawaan murid
  • Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu idea
  • Menggalakkan, menerima daya usaha dan autonomi murid
  • Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru
  • Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran menggalakkan prosespengkajian dan eksperimen.
C.    Tujuan Pembelajaran Kontruktivisme
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
  • Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
  • Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
  • Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
  • Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
D.    Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1.Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7. mencari dan menilai pendapat siswa.
8.Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorangguru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswaagar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
E. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)
.Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2.      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3.      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
4.      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas
5.      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
Ø  Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama
Ø  Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
Ø  Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
Ø  Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
Ø  Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Ø  Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
F. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
1.      Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3.      Strategi siswa lebih bernilai, dan
4.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
4.       Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5.      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6.       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
G. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme didasari ociale-ide Piaget, Bruner, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Coob, para ahli kontruksivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikontruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting matematika.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan kontruksivisme diantaranya dikemukakan oleh Steffe dan Kieren yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam kontruksivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas. Disebutkan pula bahwa dalam kontruksivisme proses pembelajaran senantiasa “problem centered approach”, dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika.
Dari prinsip di atas terlihat bahwa ide pokok dari teori konstruktivisme adalah siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah mengkontruksi pengetahuan yang dilakukan baik secara individu maupun secara ocial. Sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan, dengan menginkuiri suatu permasalahan dan kemudian memecahkan permasalahan.

H.  Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivisme
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivisme sebagai berikut
·                Adaptasi (adaptation)
·                Konsep Pada Lingkungan (the concept of envieronmet)
·                Pembentukan makna (the construction of meaning).
Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu
a)    Siswa mencapai keberhasilan dengan baik
b)   Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan
c)    Siswa gagal meraih keberhasilan.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivisme Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

I. Implikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran
Implikasi teori konstruktivisme pada pembelajaran diantaranya :
§    Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena hanya dengan usaha yang keras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
§    Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
§    Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
§    Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
§    Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
§    Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
§    Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.

J. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah Sebagai Berikut:
1) Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
2) Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi.
3) Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
K. Proses Belajar Menurut Konstruktivisme
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifisme dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.      Proses belajar kontruktivisme secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.      Peranan siswa, Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.      Peranan guru, Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.      Sarana belajar, Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.      Evaluasi, Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
L. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivisme
Ø  Kelebihan
1.      Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.      Fahammurid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.      Ingatmurid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4.      Kemahiran socialKemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.      Seronokmereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
Ø  Kekurangan
1.         Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
2.         lebih luas cakupan makna dan sulit dipahami.



BAB III
PENUTUP
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Evaluasi Kontruktivisme menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata. Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benarEvaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
DAFTAR PUSTAKA
http://akhmadsudrajat. Wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme
http://pembelajaranguru.wordpress.com /2008/05/31/konstruktivisme-penggunaan-pandangan-konstruktivisme-dalam-pembelajaran
Karwono &Mularsih, heni.(2010). Belajar dan Pembelajaran Serta Pemanfaatan Sumber Belajar. Ciputat: Cerdas Jaya

Kamis, 20 Oktober 2011

TEORI BELAJAR YANG BERPIJAK PADA PANDANGAN KOGNITIF DAN LANDASAN FILOSOFISNYA


TUGAS KELOMPOK
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
TEORI BELAJAR YANG BERPIJAK PADA PANDANGAN KOGNITIF DAN LANDASAN FILOSOFISNYA





DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. H. Karwono, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 2:
No
Nama
NPM
Paraf
1
Andi Pebriudin
10311686
1.
2
Rini Lusiyanti
10311647
2.
3
Roni Ismawan
10311649
3.
4
Septi Yonasari
10311654
4.
5
Sri Lestari
10311658
5.
 
 
 
 
Prodi                                        : Pendidikan Matematika
Semester/Kelas                                   : 3 (Tiga)/B
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2011
 
KATA PENGANTAR
Pujisyukur penyusun panjatkan atas ke hadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayahnya penulis  bisa menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi muhamad saw yang kita nantikan syafaatnya di yaumul qiamah nanti.
Maksud dan tujuan penulis menyelesaikan tugas makalah ini adalah tidak lain untuk memenuhi salah satu dari tugas kelompok  yang di berikan pada mata kulia Belajar dan Pembelajaran serta merupakan tanggung jawab penyusun pada tugas yang diberikan.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penyusun sadar bahwasanya penyusun pun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah ‘Azza Wa Jalla hingga dalam pembuatannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam evaluasi diri.
 
            Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan pembuatan tugas makalah ini ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca dan bagi seluruh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Metro.
 
                                                                                                Matro, 16 Oktober 2011
 
 
 
Penyusun
 
 
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................   1
Kata Pengantar...........................................................................................   2
Daftar isi.....................................................................................................   3
Bab I             Pendahuluan....................................................................................     5
1.1.            Latar Belakang......................................................................   5
Bab II            Pembahasan..........................................................................   6
2.1.      Teori Belajar Menurut  Pandangan Kongnitif.....................        6
2.2.      Teori Belajar Piaget.............................................................     6
2.3.      Biggs dan Collis...................................................................     6
2.4.      Lev Vygotsky......................................................................     8
2.5.      Teori Belajar Van Hiele.......................................................     12
2.6.      Fungsi kognitif....................................................................      14
2.7.      Hakikat Intelegensi Pendapat Tokoh - Tokoh ....................       17
                        2.7.1.   Contoh Test Intelegensi..........................................       19
2.7.2.   Delapan  Gaya Belajar Kognitif...............................      21
 
                       
           
Bab III           Penutup.................................................................................   23
3.1.    Kelebihan dan Kekurangan TeoriBelajar Kognitif............................      23
3.2.    Kesimpulan.....................................................................................     23
 
Daftar Pustaka..........................................................................................     25
 
 

BAB I
Pendahuluan
1.1.            Latar Belakang
Sebagai Mahasiswa Muslim kita mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT dalam dunia ini. Menganalisis metode belajar pada tingkan pendidikan adalah salah satu bentuk ibadah kepada-Nya. Karena dengan anak – anak dan remaja muslim cerdas maka masa depan umat Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya akan cerah dan menjadi generasi yang kuat. Karna Banyak sekali dewasa ini tentang pengembangan teori belajar dan pembelajaran yang banyak di ujicobakan kepada para siswa dari tingkat dasar- tingkat tinggi   (TK, SD, SMP, SMA, PT). Dan kami akan membahas salah satunya.  
 Adapun pada kali ini kelompok 2 yang di bentuk dari mata kuliah belajar dan pembelajaran, Kelompok kami di amanahkan mendiskusikan, mencari literatur, dan mempresentasikan mengenai Teori Belajar Kognitif Dan Landasan Filosofisnya oleh Dosen pengampu kami pada mata kuliah ini yaituProf. Dr. H. Karwono, M.Pd Sebagai salah satu syarat komponen ketuntasan mata kuliah belajar dan pembelajaran.
Semoga hasil Pengolahan metode yang kami pelajari, diskusikan, dan presentasikan bermanfaat di kalangan luas.
 .
 
 
 
 
BAB II
Pembahasan
 
2.1.            Teori Belajar Menurut  Pandangan Kongnitif
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
2.2.            Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
2.3.            Biggs dan Collis
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1.    Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnyatacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada modeconcrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
2.4.            Lev Vygotsky
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut vygotsky, fungsi mental mempunyai hubungan sosial (hubungan eksternal). Aanak mengembangkan konsep yang lebih sistematis, logis, dan rasional merupakan hasil dari dialog bersama pembimbingnya yang terampil. Jadi dalam teori ini, orang lain yang terampil dan bahasa memainkan peran kunci dalam perkembang kongnitif seorang anak. Istilah penting yang dikemukakan dalam teori vygotsky ini adalah bahasa dan pikiran, zona of proxcimal development, dan scaffolding.
a.       Bahasa dan Pikiran
Menurut Vygotsky, anak – anak menggunakan bahasa percakapan tidak hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu meraka menyelesaikan tugasnya. Penggunaan bahasa pada anak – anak dalam rangka pengaturan diri (self regulation) untuk merencanakan, membimbing, dan memantau perilakun, atau disebut private speech. Vygotsky berargumen bahwa anak – anak yang mengunakan private speech, lebih kompeten secara sosial dibandingan dengan mereka yang tidak menggunakanya. Anak – anak yang yang menggunakan private speech lebih memerhatikan dan meningkatkan kinerjanya dibandingkan anak yang tidak menggunakannya.
b.      Zona Perkembangan Proksimal (zona of proximal development - ZPD)
ZPD adalah suatu area dimana seorang anak merasa sulit mengerjakan tugas secara sendirian, tetapi akan menjadi mudah jika dikerjakan dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak yang lebih terampil. Jadinbatas bawah ZPD adalah tingkat keterampilan yang dapat diraih oleh anak yang dilakukan secara mandiri. Batas atas ZPD adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan orang lain yang lebih berkompeten seperti guru, oranag tua, atau teman. Pembelajaran dalam zona ini mencerminkan konsep pembelajaran yang memanfaatkan kognitifdengan mengambil keuntungan dari kecakapan mereka. Artinya, pembelajaran untuk mempersiapkan perkembangan anak dan tidak hanya menunggu untuk menjadi siapa (Santrock 2001).
c.       Scaffolding
Konsep ini adalah mengubah tingkat dukungan. Dukungna pembelajaran, tehnik pengubahan tingkat dukungan rangkaian pembelajaran dengan cara seseoran gyang lebih kompeten sebagai pembimbing menyesuaikan jumlah bimbingan agar sesuai kinerja anak. Anak dilatih dilepaskan sedikit demi sedikit agar dipraktekan, dari tidak terampil menjadi mahir
2.5.            Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a.  Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
2.6.  Fungsi kognitif
Sebagaimana dijelaskan di lain tempat,melalui fungsi kognitif manusia menghadapi obyek-obyek dalam bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan obyek-obyek itu dalam kesadaran. Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas mental berfikir.
1)  Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah “ intelegensi” dapat diartikan dengan dua cara yaitu:
a.    Arti Luas :  kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.
b.    Arti Sempit : kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini, kerap disebut “ kemampuan intelektual “ atau “ kemampuan akademik”
Di dalam intelegensi terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi sosial, intelegensi praktis, ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak berperan sama besar dalam memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misdalnya dalam pergaulan sosial komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak. Komponen-komponen itu juga tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang dimiliki seseorang, pada orang A komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada orang B komponen intelegensi praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa siswa A berprestasi lebih tinggi dalam semua bidang studi yang menuntut banyak pemikiran teoritis, sedangkan siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang bersifat praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C mungkin lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi lebih rendah dalam semua bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual).
2.7.  Hakikat Intelegensi Pendapat Tokoh - Tokoh
Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan dengan pendapat ahli yang lain, khususnya pendapat dari :
a.  Terman : intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak
b. Thorndike : intelegensi adalah kemampuan untuk menghubungkan reaksi tertentu dengan perangsang tertentu pula, misalnmya orang mengatakan “meja” bila melihat sebuah benda yang beraksi empat dan mempunyai permukaan yang datar. Maka makin banyak hubungan (koneksi) semacam itu yang dimiliki seseorang, makin intelegensi orang itu.
c.  Spearman : intelegensi merupakan hasil perpaduan antara faktor umum dan sejumlah faktor khusus. Faktor umum ( faktor g) berperan dalam semua bentuk berprestasi, sedangkan faktror-faktor khusus ( S1, S2, S3 dan seterusnya) berperan dalam bentuk-bentuk berprestasi tertentu, seperti berkemampuan bahasa, berkemampuan matematis. Perpaduan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain.
d. Thurstone : intelegensi merupakan kombinasi dari beberapa kemampuan dasar ( primary abilities). Kemampuan-kemampuan dasar itu disebut “ faktor-faktor utama” dan berjumlah tujuh, yaitu faktor bilangan, ingatan, penggunaan bahasa, kelancaran kata-kata, pemecahan problema, kecepatan.
e. Guilford : intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus. Dibedakan produk yang diperoleh sebagai hasil dari operasi tertentu terhadap materi tertentu. Pada dimensi yang pertama terdapat 5 faktor, pada dimensi yang kedua terdapat 6 faktor dan pada dimensi yang ketiga terdapat 4 fakator. Maka diperoleh jumlah faktor sebanyak 120, yaitu 5 x 6 x 4. rteori Guilford, tidak dapat diuraikan di sini, karena bersifat sangat kompleks. Pembaca yang berminat dapat mempelajari literatur yang membahas teori ini, misalnya J.P Guilford, The Nature og Human Integence,1967.
f.  Wechsler : intelegency adalah kemampuan untuk bertindak dengan mencapai suatu tujuan, untuk berfikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan secara efektif. Berdasarkan pengertian ini, disusun beberapa tes intelegensi yang sampai sekarang masih digunakan, misalnya “ Wechenler Intelegence Scale for Children, “ “Wechsler Adult Intelegence Scale,”
g. Binet : Intelegency adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Berdasarkan pengertian ini disusun tres intelegensi yang dikenal dengan nama “test stanford-Binet “ dan sampai sekarang masih digunakan.
h. Gardner : mengembangkan bahwa terdapat beberapa macam intelegensi yang dapat dibedakan yang satu dari yang lain. Dia mencatat bahwa kerusakan pada bagian otak tertentu mengakibatkan gangguan terhadap intelegensi yang satu, tetapi tidak terhadap intelegensi yang lain. Disamping itu dikemukakannya bahwa orang kerap mencolok dalam satu intelegensi, tetapi tidak menunjukkan kemampuan tinggi dalam intelegensi yang lain.  Jumlah intelegensi yang disebutkan adalah tujuh yaitu kemampuan dalam penggunaan bahasa seperti disaksikan pada penyair dan jurnalistik;kemampuan dalam berfikir logis dan matematis seperti yang terdapat pada seorang ahli riset ilmiah dan seorang ahli matematika.
i.  Sternberg : Teori triarkhis mengenai intelegensi artinya teori yang mengandung tiga bagian. Bagian pertama menyangkut berbagai proses mental yang menjadi komponen pokok dalam operasi mental terhadap representasi dari obyek0obyek dalam alam pkiran. Bagian kedua menyangkut kemampuan seorang untuk menghadapi tantangan baru secara efektif, dan mencapai taraf kemahiran dalam berfikir sehingga mudah berhasil dalam mengatasi segala permasalahan yang muncul. Bagian ketiga dalam teori Sternbeg menyoroti kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam lingkungan yang memungkinkan akan berhasil, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan itu dan untuk mengadakan perubahan terhadap lingkungan itu bila perlu. Kemampuan ini nampak, misalnya dalam ketetapan plihan karier, dalam kemudahan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan kerja dan dalam kelincahan pergaulan sosial.
Meskipun semua pandangan yang dikemukanan di atas sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat bahwa tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir abstrak), kemampuan untuk belajar.  Dari pihak lain adanya perbedaan dalam pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi), tidak harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya kreativitas bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari jalur yang lazimnya yang tinbgi pula. Maklumlah , dalam testing intelegensi di sekolah, corak berfikir konvergen yang lebih berperanan.
2.7.1.   Contoh Test Intelegensi
Seorang siswa yang terbukti mempunyai IQ yang tinggi dan sekaligus mampu berpikir kreatif sekali, biasanya akan merepotkan guru, karena cendrung untuk berfikir kritis, menemukan pemecahan yang baru dan mengajukan pertanyaan yang sukar dijawab; dia merepotkan diikuti. Torrance telah mengembangkan dua macam tes yang pertama subyek dituntut untuk mengerjakan berbagai soal dengan menggunakan bahasa, misalnya memikirkan dan menyebutkan sebanyak subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa.
Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat sebuah gambar yang masing- masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua soal itu diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit orang menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang berbeda), dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).
a.  Bakat Khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering berpendapat bahwa seua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung diturunkan oleh orang tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika diperoleh dari orang tua melalui proses generasi biologis. Namun yang terakhir ini tidak akan nampak kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Adanya bakat khusus di suatu bidang studi akademik, biasanya baru nampak jelas pada awal masa remaja, karena baru pada masa itu anak telah memperoleh cukup banyak pengalaman, sehingga terbentuk suatu bakat khusus.
b.  Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah diupelajari, disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal ini bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah;makin mendalam dn makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri.
c.  Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengibgat kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dan berbahasa yang benar, maka tidak mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal di belakang dibanding dengan siswa yang berbahasa baik.
d. Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal yang perbnah diamati tyetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, tanggapan “semut sebesar gajah” bukanlah sesuatu yang pernah diamati, meskipun materi untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari pengalaman sensorik yang kongkret.
e.  Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial. Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi kejadian itu ( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup sehari-hari (rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain (sosial)
f.  Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar mengandung beberapa koponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cendrung bertahan terus.
 
2.7.2.   Delapan  Gaya Belajar Kognitif
1.  Kecendrungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. Sesuatu yang dipelajari ditinjau dari beberapa sidut dan seoalah-olah dibagi atas beberapa bagian yang masing-masing diperdalam, untuk kemudian digabung lagi. Gaya seperti ini dilawankan dengan kecendrungan untuk mempelajari sesuiatu secara global tanpa mengadakan peotongan atau pembagian.
2.  Perbedaan antara kedua kecendrugan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal sebagai ketergantungan pada medan (field dependency) lawan ketidak-ketergantungan pada medan (field-independent). Dalam hal yang pertama orang cendrung memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Oleh karena itu guru yang sungguh-sungguh mengenal kepribadian masing-masing siswa, harus mendampinginya dalam memanfaatkan kelebihannya serta mengatasi kelemahannya..
3.   Ketahanan terhadap kecendrungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah diplih dalam mempelajari sesuatu. Sekali dipilih suatu cara yang dinilai tepat apakah cara itu mudah ditinggalkan untuk diganti dengan cara lain yang nampaknya lebih mudah, tetapi sebanarnya kurang tepat.
4.  Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas atau yang lebih terbatas. Yang pertama mencakup banyak hal sekaligus yang kedua mencakup beberapa hal saja.
5.   Kecendrungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara obyek-obyek atau kurang meperhatikannya. Hal initerutama menyangkut pengamatan yang dalam belajar dapat memegang peranan penting.
6.   Kecendrungan ini mungkin dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendfasari yaitu bereaksi dengan sangat cepat, namun kurang tepat (impulsif) atau bereaksi dengan lebih lamban tetapi tepat( refleksif). Dengan meningkatknya umur anak pada umumnya menjadi lebih refleksif, namun anak yang sejak umur muda cendrung bera\eaksi dengan cepat tidak akan berbalik menjadi orang yang angat bereakasi refleksif siswa yang cendrung untuk terlalu inplusif dalam berpersepsi dan mengerjakan tugas-tugas belajar, harus dibantu untuk bekerja dengan lebih lambat, mialnya dengan menganjurkan supaya membaca soal dalam tes secara teliti dan menjawabnya secara terencana.
7.   Tipe belajar menunjuk pada kecendrungan seseorang untuk mempelajari seauatu dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong tipe visual cendrung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, duagram dan lain sebagainya. Namun tidak semua siswa akan jelas trgolong kedalam salah satu tipe; mungkin saja seorang siswa akan menyesuaikan tipe belajarnya dengan materi pelajaran yang dihadapi. Adapula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik dalam menglah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
8.  Teknik-teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar di rumah. Siswa yang telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat .
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
Penutupan
3.1.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kognitif
a.  Kelebihan
1.   menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri.
2.   membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
b.  Kekurangan
1.   teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
2.   sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.
3.   beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
 
3.2.      Kesimpulan
“Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available: http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htmAccessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent behaviou. In H.Rowe (ed.).
Karwono, Heni, Mularsih.(2010).Belajar dan Pembelajaran serta Pemanfaatann Sumber Belajar.Jakarta:Cerdas Jaya.