Selasa, 02 November 2010

PENGANTAR PENDIDIKAN

PENGANTAR PENDIDIKAN
TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN





  


OLEH :

NAMA                          : CHARLES MAYDONA
NPM                              : 10130718
PRODI                          : MATEMATIKA
KELAS                         : B



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH METRO
2010


KATA PENGANTAR

       Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,  karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam makalah ini membahas tentang penghantar pendidikan.
       Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang masalah pendidikan yang sangat diperlukan dengan suatu harapan mendapat penjelasan tentang ilmu pendidikan dan melakukan apa yang menjadi tugas saya sabagai mahasiswa,
Yang mengikuti mata kuliah “Pengantar Pendidikan”
Dalam proses pendalaman materi ilmu pendidikan ini,tentunya saya mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yangse dalam-dalamnya  saya sampaikan :
·         Prof. Dr. Hi. Juhri AM, M.Pd.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,

Metro,  25 Oktober 2010
Penyusun


Charles MayDona
10311697





DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................   i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................   ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................   iii
BAB I PENDAHULUAN PENGANTAR PENDIDIKAN..................................................   1
1.1.   Konstruksionism...........................................................................................................   2
1.2.   Essentialism.................................................................................................................. 6
1.3.   Progresivism.................................................................................................................   9
BAB  II  LANDASAN TEORI KEGURUAN.....................................................................   12
2.1.Profesi Keguruan............................................................................................................   13
2.2 Peryaratan Profesi..........................................................................................................   14       
2.3 Kode Etik Profesi...........................................................................................................   15
2.4 Organisasi Profesi...........................................................................................................   17
BAB III. LANDASAN TEORI (POSMODERNISME, PEDAGOGI, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN)               18
3.1 Sejarah Perkembangan Posmodernisme..........................................................................   18
3.2 Pedagogi (Pendidikan)....................................................................................................   19
3.3 Filsafat Pendidikan.........................................................................................................   22
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................   26
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................   26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................   27




BAB I
PENDAHULUAN PENGANTAR PENDIDIKAN

Mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.

A. Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

B. Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

C. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

1.1.  KONSTRUKSIONISM

A. Pengertian
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan konstruktivisme adalah membahas dua bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.

1. Konstruktivisme Individu
Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan sesuatu dengan menggunakan pengatahuan dan keyakinannya secara individu. Pengetahuan disusun dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan mereorganisasikan pengetahuan yang sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan cermin dari luar, walaupun pengalaman mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran mempengaruhi pengetahuan.
Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung dipelajari dari lingkungan. Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah pikiran.

2. Konstruktivisme Sosial
Vgotsky meyakini, bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Atau dengan kata lain, pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosialbudayanya. Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.

Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan, keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran. Vygotsky juga dianggap sebagai konstruktivis sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya sangat bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran. Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu.

B. Dimensi-Dimensi Pembelajaran Konstruktivisme
1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik
Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya: siswa dihadapakan pada lingkungan belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.
Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang otentik, karena keberagaman situasi yang siswa hadapi tersebut, seperti juga aplikasi yang mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi Sosial
Tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-sama. Guna mnyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi, sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.
3. Keragaman Pandangan dan Representasi Bahasan
Acuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.
4. Proses Konstruksi Pengetahuan
Pendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran mereka dalam membangun pengetahuan. Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda, mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri, pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.
5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam Belajar
Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.

C. PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Discovery Learning
Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya. Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan. Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis). Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis. Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip. Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan. Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.

Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berfikir logis.

Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah. Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan. Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.

Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikkan. Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya. Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya.

Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama-sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.

Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitupula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis, merekomendasikan kepada pendidik bahwa :
1. Pembelajaran melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
2. Menyediakan negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari pembelajaran.
3. Mendukung pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap isi yang dipelajari.
4. Meningkatkan kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
5. Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.




1.2. ESSENTIALISM

A. Pengertian
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

B. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.

2. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:

1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .

3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.

4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.

B. Tokoh-tokoh Esensialisme

1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.

2. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.

C. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.

belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.

D.Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kua


1.3. PROGRESIVISM

A. Pengertian
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.

Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya


B. Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.


C. filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes

(fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya.Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.

Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

D. Tokoh-tokoh Progresivisme

1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)

James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.







BAB II
LANDASAN TEORI KEGURUAN

Definisi yang sering kita dengar setiap hari dari guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru, yaitu orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses kependidikan.

Dewasa ini sering sekali kita mendengar berita-berita yang memuat tentang guru baik dari koran, majalah maupun media audio visual . Ironisnya berita tersebut banyak yang cenderung melecehkan posisi guru baik yang sifatnya menyangkut kepentingan umum sampai kepada hal-hal yang sifatnya pribadi, sedangkan dari pihak guru sendiri nyaris tidak pernah ada dan tidak bisa membela diri. Masyarakat / orang tua murid sering menuduh guru tidak kompeten, jika pura/putrinya tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Begitupun di kalangan bisnis/industri. Mereka protes karena kualitas para lulusan dianggapnya kurang memuaskan bagi kepentingan perusahaannya. Begitupun di kalangan para siswa, mereka yang ada di kota besar khususnya siswa menengah ke atas, menghormati gurunya hanya karena ingin mendapatkan nilai yang baik dan lulus UAN. Tentu saja kondisi tersebut kurang kondusif bagi guru. Cepat atau lambat akan merongrong wibawa guru, bahkan pelan tapi pasti akan menurunkan martabat guru.

Sikap dan prilaku masyarakat tersebut bukan tanpa alasan, karena memang sering kita temui oknum guru yang melanggar dari kode etiknya. Selain itu kesalahan sekecil apa pun yang dilakukan guru senantiasa mengundang reaksi masyarakat yang begitu hebat. Hal ini harus dimaklumi karena dengan sikap demikian itu menunjukkan bahwa memang guru seyogyanya menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya.

Dari uraian di atas, maka seorang pendidik atau seseorang yang berprofesi sebagai guru hendaknya mengerti betul apa sebetulnya profesi guru tersebut. Oleh karenanya makalah kali ini akan mencoba menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan profesi guru.


2.1 PROFESI KEGURUAN
Pengertian Profesi Keguruan
Kata Profesi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb.) tertentu. Kata Profesi juga diartikan sebagai jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Sedangkan guru diartikan sebagai tenaga pendidik atau orang yang memiliki tugas pokok melaksanakan proses belajar mengajar (mendidik, mengajar dan melatih).Sehingga Profesi Keguruan diartikan sebagai Suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai tenaga pendidik (guru) dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.
Nana Sujana (1988) dalam Uzer Usman (1999), mengatakan kata ”Profesional” berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian; seperti dokter, guru, hakim dan sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian di atas, maka guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki penagalaman yang kaya di bidangnya. Karena guru merupakan sebuah profesi, maka seorang guru perlu mengetahui dan harus dapat menerapkan prinsip mengajar agar dapat melaksanakan tugasnya secara profesional.Yaitu sebagai berikut:
a.) Guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa pada setiap materi pelajaran serta dpat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
b.) Guru harus dapat membangkitkan minat siswa untuk aktif dalam berpikir serta mencari dn menemukan sendiri pengetahuan.
c.) Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan perkembangan siswa.
d.) Guru harus dapat melakukan apersepsi, artinya menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa, dengan harapan siswa menjadi lebih mudah memahami pelajaran yang diterimanya.
e.) Guru harus dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan siswa menjadi jelas.
f.) Guru wajib memperhatikan dan memikirkan korelasi antara pelajaran yang diberikan dengan kehidupan sehari-hari.
g.) Guru harus menjaga konsentrasi belajar siswa, dengan cara memberikan pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
h.) Guru harus mengembangkan sikap siswa dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun di luar kelas.
i.) Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan siswa secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya.
j.) Guru harus dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.

Seiring dengan perkembangan zaman yang disertai dengan kemajuan teknologi, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.
Dari uraian di atas, maka cukup jelas bahwa seorang yang berkeinginan maupun yang telah menjdi guru harus betul-betul memahami profesi ini dengan pasti. Selanjutnya dalam melakukan kewenangan profesionalnya, guru dituntut memiliki seperangkat kemampuan (competency) yang beraneka ragam.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa komponen persyaratan profesi keguruan, sehingga mengantarkan seorang guru menjadi guru yang ideal.

2.2 Persyaratan Profesi
Mengingat tugas dan tanggungjawab guru yang begitu kompleksnya, maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus berikut ini:
Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Selain persyaratan di atas, Uzer Usman (1999) menambahkan masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong ke dalam suatu profesi antara lain:
Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Memiliki klien / objek layanan yang tetap, seperti dokter dengan pasiennya, guru dan muridnya.
Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Dalam bukunya Profesi Keguruan, Hamzah Uno (2007), menambahkan tidak sembarang orang dapat melaksanakan tugas profesional sebagai guru. Untuk menjadi guru haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah. Seperti berikut ini:
Guru harus berijazah, maksudnya ijazah yang dapat memberi kewenangan untuk menjalankan tugas sebagai seorang guru disuatu sekolah tertentu.
Guru harus sehat rohani jasmani. Syarat ini merupakan syarat mutlak yang tidak dapat diabaikan.
Guru harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik. Sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia susila yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Guru haruslah orang yang bertanggungjawab. Tanggungjawab guru adalah sebagai pendidik, pembelajar dan pembimbing serta menjaga keharmonisan dalam hubungannya dengan lingkungan disekitarnya.
Guru Indonesia harus berjiwa nasional. Hal ini diperlukan agar tertanamnya jiwa nasional pada setiap siswa.
Syarat-syarat di atas merupakan syarat umum yang berhubungan dengan profesi guru. Selain itu ada pula syarat lain yang erat hubungannya dengan tugas guru di sekolah, sebagai berikut:
1. Harus adil dan dapat dipercaya.
2. Sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya.
3. Memiliki kewibawaan dan tanggungjawab akademis
4. Bersikap baik kepada rekan guru, staf sekolah, dan masyarakat.
5. Harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya.
6. Harus selalu berintrospeksi diri dan siap menerima kritik dari siapa pun.
7. Harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

2.3 Kode Etik Profesi
Suatu profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan prilaku yang memenuhi norma-norma etik profesi. Etik adalah sistem nilai yang menyatakan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. 
Etik berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan sifat wajib atau keharusan suatu perbuatan. Etik secara langsung menanyakan jenis perbuatan apa yang benar atau apa yang salah, baik atau buruk, seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan. Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan pedoman perilaku profesional dalam melaksanakan profesinya.
Secara umum kode etik profesi dikemukakan oleh Michael D. Bayles (1981) dalam diktat Pengembangan Profesional dan Penunjuk penulisan Ilmiah (2001) sebagai berikut:
Kewajiban adalah norma-norma yang berisi apa yang benar dan apa yang salah untuk dilakukan. Peraturan menyatakan kewajiban-kewajiban yang menentukan perbuatan yang tidak boleh menyimpang.
Izin yaitu pemberian izin atau permisi untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban profesi. Misalnya seorang profesional diizinkan untuk menolak permintaan klien yang mengusulkan perbuatan amoral atau bertentangan dengan norma-norma profesi.
Kode etik profesi dalam pelaksanaannya diawasi oleh organisasi profesi dan lembaga-lembaga judikasi lainnya mendorong pelaksanaan profesi dengan baik tanpa pengawasan pelaksanaan kode etik tidak ada manfaatnya.
Dr. Kartini K, menambahkan seseorang memutuskan dirinya untuk menjadi profesional pada bidangnya, maka ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi:
Harus memiliki satu atau beberapa kelebihan dalam pengetahuan, keterampilan sosial, kemahiran teknis serta pengalaman.
Kompeten melakukan kewajiban dan tugas-tugasnya.
Mampu bersikap dewasa dan susila. Sehingga dia selalu bertanggungjawab secar etis/susila, mampu membedakan hal-hal yang baik dari yang buruk, dan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi.
Memiliki kemampuan mengontrol diri: yaitu mengontrol pikiran, emosi, keinginan dan segenap perbuatannya, disesuaikan dengan norma-norma kebaikan.
Selalu melandaskan diri pada nilai-nilai etis (kesusilaan, kebaikan)
Adanya kontrol diri dan kontrol sosial. Oleh karenanya segala kesalahan harus segera dibetulkan. Pelanggaran-pelanggaran dihukum dan ditindak dengan tegas.
Secara khusus di bawah ini ada beberapa kode etik guru yang wajib diketahui dan dilaksanakan oleh guru di Indonesia. Guru Indonesia harus berjiwa pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggungjawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Kode Etik Guru
a.) Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila.
b.) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
c.) Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan danpembinaan.
d.) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang hasilnya proses belajar mengajar.
e.) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama terhadap pendidikan.
f.) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
g.) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
h.) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
i.) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

2.4 Organisasi Profesi
Para Profesional memerlukan organisasi profesi, sebab aspirasi mereka baik mengenai idealisme maupun kesejahteraan yang merupakan implikasi dari tuntutan kompetensi tugas, sering kali memerlukan perjuangan bersama. Aksi bersama sering kali lebih efektif untuk meningkatkan kekuatan para anggota ketimbang aksi perorangan.
Organisasi profesi keguruan yang paling populer di Indonesia adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan sarana perjuangan dan pengabdian guru. PGRI ini lahir pada tanggal 25 Nov 1945.
Organisasi lainnya yang berhubungan dengan profesi keguruan ini adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MPGM), wadah ini biasanya membahas berbagai hal yang berhubungan dengan penigkatan proses pembelajaran dan berbagai permasalahannya bagi masing-masing mata pelajaran.
Wadah lainnya yang membidangi dan memayungi sarjana pendidikan yaitu Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI). Dimana wadah ini berfungsi sebagai pemersatu seluruh sarjana pendidikan di Indonesia.
Berbagai organisasi ini pada hakiakatnya memiliki tujuan yang sama agar setiap aspirasi guru baik mengenai idealisme, maupun kesejahteraan yang merupakan implikasi dari tuntutan kompetensi tugas, dapat diperjuangkan secara bersama-sama.





BAB III
POSMODERNISME, PEDAGOGI, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
3.1. Sejarah Perkembangan Posmodernisme
Posmodernisme mula-mula muncul karena adanya keinginan untuk berpaling dari paham modernisme yang dianggap berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Subangun (1994:154) bahwa, Lyotard dan Foucault, tokoh aliran ini, menolak keteraturan yang didituntut oleh modernisme. Lebih-lebih Lyotard, ia mengatakan bahwa konsesus dalam apapun dan terutama dalam pengetahuan, bukan dan tidak akan menjadi akhir untuk dirinya sendiri. Demikian pula objektivitas tidak merupakan tujuan akhir, sebab dalam tingkat perkembangan ilmu seperti sekarang ini bukan lagi mengejar objektivitas atau kosensus rasional, melainkan mengejar hal-hal yang jauh lebih penting yakni; hal-hal yang tidak bisa diduga dan diambil keputusan (Subangun, 1994:156).
Pemikiran posmodernisme sendiri sebenarnya telah diawali oleh teori dialogis Bakhtin yang disusun pada tahun 1920-an. Teori tersebut telah menunjukkan kecenderungan ke arah posmodernisme. Namun, secara faktual baru pada tahun 1950-an posmodernisme muncul sebagai sebuah aliran. Selanjutnya, aliran ini baru dikenal di kalangan luas pada tahun 1970-an.
Istilah posmodernisme mula-mula dikenalkan oleh Lyotard secara eksplisit lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya tersebut Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Sebaliknya, ia menawarkan ide parologi atau pluralitas. Manusia harus membuka kesadaranya dan menerima realitas plural. Menurutnya tiap pengetahuan bergerak dalam language game masing-masing, dan kebenaran selalu terkait pada penilaian orang melalui bahasa yang digunakan (Arifin, 1994:34). Jadi, kebenaran adalah selalu interpretatif, dan karena interpretatif maka sulit untuk dipastikan.
Aliran modernisme dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative (cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya (Arifin, 1994:34). Yang menjadi kegelisahan Lyotard bahwa, aliran ini mengklaim diri sebagai aliran yang mampu mencapai kebenaran dan keadilan. Lyotard menolak dengan keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran.
Aliran posmodernisme berkembang pesat pada tahun 1970-an dengan beberapa tokoh yang dikenal gigih menolak aliran modernisme dan menawarkan solusi terbaik dalam upaya untuk mengikuti perkembangan zaman yang serba menuntut tersebut. Tokoh-tokoh itu ialah: Jeans Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai gembong aliran posmodernisme.
3.2. Pedagogi (Pendidikan)
1. Makna Pendidikan
Pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan (Langeveld, dalam Sadulloh, 2003:54; Pidarta, 1997:10), sedangkan pendidikan secara luas menurut Hoogeveld dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan kepada anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri (Sadulloh, 2003:54). Sementara itu, Brojonegoro memberi makna pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani (Sadulloh, 2003:54). Selanjutnya, menurut tokoh pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Pidarta, 1997:10).
Berpijak dari pendidikan dalam arti khusus, maka setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya pendidikan yang dimaknai khusus tersebut tercermin dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Orang tua yang terdiri dari Ayah dan Ibu menjadi figur sentral dalam pendidikan keluarga. Mereka bertanggung jawab untuk memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa, atau menjadi manusia sempurna, maka bantuan pendidikan yang diberikan oleh Ayah dan Ibu tersebut dianggap telah selesai.
Ditilik dari uraian tersebut, maka munculnya sekolah tak lain karena orang tua menganggap dirinya tidak sanggup dengan sepenuh waktu mendampingi anak-anaknya belajar mencapai kedewasaan. Bahkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan seorang ibu demi sebuah kariernya, menitipkan anak-anaknya di tempat-tempat penitipan anak. Tampaknya mereka tidak menyadari bahwa dampak psikologi anak akan mempengaruhi perkembangan di masa mendatang.
Pendidikan dalam arti luas menurut Henderson (Sadulloh, 2003:55) merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil intraksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
Di Indonesia secara umum pendidikan dalam arti luas telah tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 bahwa, ”Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. Demikian pula dalam amanat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perananya di masa yang akan datang. Kedua hal tersebut kini menjadi landasan sistem pendidikan di negara kita.
2. Pendidikan Sebagai Proses Transformasi
Pada hakekatnya pendidikan adalah mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional bahwa, pendidikan mencakup kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasformasikan segala nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi, budaya, sains dan teknologi, seni dan nilai ketrampilan. Tujuan dari pentransformasian nilai tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan, mengembangkan. Bahkan, (kalau perlu) mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat (Sadulloh, 2003:57).
Untuk mencapai proses transformasi yang efektif diperlukan syarat- syarat tertentu. Adapun syarat-syarat yang dimaksud menurut Sadulloh (2003:58) ialah: (1) harus ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dengan terdidik. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara siswa dengan guru berdasarkan atas kewibawaan; (2) harus ada metode pendidikan yang sesuai. Maksudnya ada kesesuaian metode dengan kemampuan pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi lingkungan tempat pendidikan berlangsung; (3) harus ada sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya ada kesesuaian antara nilai yang akan ditransformasikan dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan serta sarana tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada peserta didik; dan (4) harus ada suasana yang memadai. Suasana yang memadai dan menyenangkan sangat menunjang terjadinya proses transformasi nilai agar berjalan dengan baik.
3. Tujuan Pendidikan
Berbicara tentang tujuan pendidikan maka terkait erat dengan sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan. Menurut Hummel (1977:39, dalam Sadulloh, 2003:58) untuk menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai itu ialah: (1) autonomi, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik; (2) equity (keadilan), berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama; (3) survival, berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana yang tersebut dalam uraian sebelumnya bahwa pendidikan secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan, atau pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan. Secara umum yang disebut dengan manusia dewasa ialah: manusia yang dianggap telah mandiri, bertanggung jawab, telah mampu memahami norma-norma serta moral dalam kehidupan dan sekaligus berkesanggupan untuk melaksanakan norma dan moral tersebut (cf. Sadulloh, 2003:59).
Pendidikan di Indonesia berkibkat pada ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan secara umum ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan perilakuknya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
4. Pendidikan Berlangsung Sepanjang Hayat
Hakekatnya manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena tumbuh dan berkembang, maka manusia tidak pernah stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu dinamis. Dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik ia selalu bereksplorasi dengan alam dan sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus belajar, selama itulah pendidikan terus berjalan.
Sekarang orang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya dilakukan di bangku sekolah, tetapi dapat dilakukan di mana saja. Di sekolah, di luar sekolah (di rumah, di masyarakat), dan sebagainya. Selain itu, kegiatan belajar juga tidak hanya berlangsung pada masa anak-anak, tetapi merupakan kegiatan yang terus menerus sampai meraka mati. Pendidikan yang demikian itu di sebut pendidikan seumur hidup (long life education). Jadi, pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang berlangsung sejak manusia lahir sampai ia mati (Natawidjaya, 1979:105).
Konsep pendidikan sepanjang hayat, menurut Sadulloh (2003:63) adalah semua kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Maksudnya seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Selain itu, model pendidikan yang diterapkan bersifat adaptif. Maksudnya pendidikan yang dilakukan selalu mengikuti perkembangan lingkungan dan disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang telah maju tentu akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju.
3.3. Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Filsafat Pendidikan
Menurut Pidarta (1997:84) yang disebut filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Berbicara tentang filsafat pendidikan, hampir semua negara di dunia ini dihadapkan pada tiga pertanyaan besar. Ketiga pertanyaan itu ialah: (1) apakah pendidikan itu? (2) apa yang hendak dicapai? (3) bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan itu? (Sutisna, 1990, dalam Pidarta, 1997:84). Jika ingin diuraikan secara detail masing-masing pertanyaan itu akan memberikan beberapa rincian lagi. Namun, yang perlu dijelaskan di sini tampaknya hal-hal yang berkaitan dengan maksud dari filsafat pendidikan itu sendiri kaitanya dengan para pelaksana (praktisi) pendidikan di lapangan.
Menurut Sutan Zanti Arbi (1988, dalam Pidarta, 1997:86) setidaknya ada empat maksud filsafat pendidikan dalam perannya terhadap pendidikan. Keempat maksud itu ialah, menginspirasikan, menganalisis, mempreskriptifkan, dan menginvestigasi. Meginspirasikandalam uraian tersebut berarti bahwa filsafat pendidikan memberi inspirasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filsof menjelaskan idenya bagaimana pendidikan itu, ke mana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta apa peran pendidik.Menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancuan (tumpang tindih).
Mempreskriptifkan dalam filsafat pendidikan adalah upaya menjelaskan atau memberi pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa hakekat manusia bila dibandingkan dengan makhkuk lain, atau aspek-aspek peserta didik yang memungkinkan untuk dikembangkan, proses perkembangan itu sendiri, batas bantuan yang diberikan, batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan, target pendidikan, perbedaan arah pendidikan, dan bakat serta minat anak.
Menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meniliti kebenaran suatu teori pendidikan. Maksudnya pendidik tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatu konsep atau teori pendidikan untuk dipraktekkan di lapangan, tetapi hendaknya konsep yang dipraktekkan tersebut hasil dari penelitian yang dilakukan, sedangkan posisi filsafat hanya sebagai latar pengetahuan saja. Selanjutnya, setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat digunakan untuk mengevaluasi atau sebagai pembanding, berikutnya sebagai bahan revisi agar konsep pendidikan itu menjadi lebih baik dan mantap.
Filsafat pendidikan selalu bereksplorasi menemukan sebuah format pendidikan yang ideal untuk diterapkan di suatu negara. Format pendidikan yang dimaksud harus sejalan dengan keadaan masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan.
3 Peranan Filsafat Pendidikan
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa filsafat pendidikan selalu mencari format pendidikan yang ideal dan tepat dengan kondisi di mana pendidikan itu dilaksanakan. Filsafat pendidikan menjadi landasan dari sistem pendidikan suatu negara. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tanpa memiliki filsafat dalam menentukan arah pendidikan yang akan dicapai. Tanpa filsafat pendidikan maka dapat dipastikan suatu negara tersebut kesulitan menentukan capaian yang diharapkan dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan.
Setiap negara memiliki filsafat pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan corak kehidupan negara tersebut. Corak kehidupan yang dimaksud adalah corak kehidupan yang tercermin dalam perilaku masyarakatnya. Negara mempunyai kewenangan menentukan landasan filsafat pendidikan sebagai arah kebijakan yang akan dicapai dalam tujuan pendidikan yang diselenggarakan. Tidak ada satu negara pun memiliki filsafat pendidikan yang sama persis, kecuali negara tersebut memiliki sejarah peradaban yang sama. Sekalipun demikian arah dan tujuan pendidikan yang akan dicapai tetap berbeda.
Di Indonesia filsafat pendidikan dirumuskan berdasarkan corak dan budaya kehidupan bangsa Indonesia. Filsafat pendidikan di Indonesia didasarkan pada ideologi negara dan konstitusi negara. Oleh karena itu, filsafat pendidikan di Indonesia disebut Filsafat Pendidikan Pancasila. Segala kebijaksanaan pendidikan harus mencerminkan nilai-nilai pancasila. Hasil akhir dari pendidikan pun harus mampu mencerminkan perilaku yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila.
Berdasarkan perbedaan filsafat pendidikan yang dianut, maka setiap negara tidak patut mengadopsi sistem pendidikan negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat negara tersebut. Kesuksesan negara tertentu terhadap sistem pendidikan yang diterapkan, tidak mesti cocok untuk diterapkan di negara lain. Oleh karena itu, suatu negara harus bertidak bijaksana dalam menetapkan segala keputusan berkaitan dengan sistem pendidikan.


Prikaz jedinog unosa.
·         Adjier Menurut Dalyono (2008), rendahnya minat orang tua terhadap pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor pribadi (tingkat kesadaran), faktor ekonomi, faktor sosial budaya (social cultur), dan faktor letak geografis sekolah.

Faktor sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka.

Adanya faktor lingkungan sosial budaya ini berawal dari sebuah teori empiris dari Jhon Locke, seorang ahli filsafat Inggris pada tahun 1632-1704. Ia mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapat coretan sedikitpun. Akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang menulisnya. Teori Jhon Locke ini disebut pula dengan teori tabularasa. Menurut teori Jhon Locke, manusia tidak memiliki pembawaan. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor luar atau faktor lingkungan, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat.

Menurut Dalyono (2008), “Lingkungan sosial budaya masyarakat adalah semua orang/manusia yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan anak.” Pengaruh sosial tersebut dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung, seperti terjadi di dalam pergaulan anak sehari-hari dengan teman sebayanya atau orang lain. Yang tidak langsung dapat terjadi melalui jalur informasi, seperti radio atau televisi. Masih menurut Dalyono (2008), “Anak-anak yang dibesarkan di kota pola pikirnya berbeda dengan anak di desa.” Pada umumnya anak yang tinggal di kota lebih bersikap aktif dan dinamis, bila dibandingkan dengan anak desa yang selalu bersikap statis dan lamban. Itulah sebabnya, perkembangan dan kemajuan anak yang tinggal di kota jauh lebih pesat daripada anak yang tinggal di desa.

Penelitian Firdaus (2005) menyebutkan bahwa rendahnya minat orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke Sekolah Menengah Pertama disebabkan: Pertama, faktor sosial budaya sebesar 87,3%. Kedua, faktor kurangnya biaya pendidikan (ekonomi tidak mampu) diperoleh sebesar 86,0%. Ketiga, faktor kurangnya tingkat kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan (faktor orang tua) diperoleh sebesar 59,1%. Keempat, letak geografis sekolah sebesar 50,8%.

Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat kecewa dengan kualitas pendidikan. Masyarakat ‘yang berpikiran sempit’ memandang bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Asumsi ini lahir karena masyarakat beranggapan bahwa menyekolahkan anaknya di pendidikan formal hanya menambah jumlah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh keluaran para lulusan sekolah lanjutan belum mampu memenuhi dunia kerja. Akibatnya, selalu terjadi penumpukan tenaga kerja setiap tahunnya (Tirtarahardja dan La Sula, 2000).

Rendahnya minat untuk melanjutkan ke SMP sungguh sangat memperihatinkan semua pihak. Imbasnya, hal itu banyak terjadi di desa-desa atau di pelosok daerah yang tergolong terpencil. Ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang kurang menyadari akan penting pendidikan. Meskipun pemerintah telah memberikan sosialisasi tentang pendidikan, tetapi masih ada sebagian anak terpaksa tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kondisi ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan.

Gunawan (2000) mengatakan bahwa, “Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat berperan dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat yang bermakna bagi masyarakatnya.” Melalui pendidikan formal akan terbentuk kepribadian seseorang yang diukur dari perkembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor seperti terdapat dalam teori Bloom. Jadi, masyarakat yang tidak menyadari pentingnya pendidikan formal akan menjadi masyarakat yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan kurang keahlian. Mereka akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan terbelakang. Dalam persaingan, mereka akan kalah bersaing dengan masyarakat lain yang pendidikannya sudah maju, terlebih-lebih bersaing pada era globalisasi dan informasi pada saat ini. Yang akan terjadi di kemudian hari, anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan formal akan menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang menopang kehidupan sehari-hari.





BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Profesi Keguruan diartikan sebagai Suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai tenaga pendidik (guru) dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Pengertian ini mengandung implikasi bahwa profesi keguruan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang secara khusus dipersiapkan untuk menjadi guru. Dengan kata lain, profesi ini bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan.

Dalam melaksanaan tugasnya secara profesional, maka ada banyak hal yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh guru. Diantaranya yang berhubungan dengan profesi keguruan yaitu prinsip mengajar, syarat profesi, kode etik guru, dan organisasi profesi.

Dengan masuknya bidang pekerjaan guru sebagai sebuah profesi, maka guru memegang peranan penting dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan baik secara makro, yaitu tujuan pendidikan nasional maupun secara mikro dalam proses belajar mengajar.




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jakarta. 2001.
Departemen Agama RI. Pengembangan Profesional dan Petunjuk Prnulisan Karya Ilmiah. Jakarta. 2001
Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi aksara Jakarta.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.
Kartini, K. Dr. Pemimpin dan Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1994.
Moh. Ali, Drs. (1985) dalam Uzer Usman. Menjadi Guru Profesional. Rosdakarya. Bandung. (1999)
Uno. H, Prof., Dr. Profesi Kependidikan. Bumi Aksara. Jakarta. 2007.
Pidarta, Made. 1994. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Antara Islam Modernisme dan Posmodernisme: Telah Kritis atas Pemikiran hasssan Hanafi. Yogyakarta: LKIS
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: kanisius.
Arifin, Syamsul. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta: Aditya Media.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Natawidjaya, Rochman. 1979. Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Kurnia Esa Jakarta.
 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan.. PT. Bumi Aksara. 2007 Oemar Hamalik . Kurikulum dan pembelajaran. PT. Bumi Aksara. 2007 Agus F tamyong dalam Uzer Usman. Menjadi Guru Profesional. Rosdakarya. Bandung. 1999. Hamzah B. Uno. Profesi Kependidikan. PT. Bumi Aksara. (2007) Drs. Moh. Ali , 1985 dalam Uzer Usman. Menjadi Guru Profesional. Rosdakarya. Bandung. (1999). DEPAG RI. Pengembangan Profesional dan Petunjuk Prnulisan Karya Ilmiah. Jakarta. 2001. Departemen Agama RI. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta. 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.