Sabtu, 24 September 2011

KRISIS BUDAYA INDONESIA


TUGAS INDIVIDU
ILMU BUDAYA DASAR

Diampu oleh 
Dra.DWI TYAS UTAMININGSIH M.H



KRISIS BUDAYA INDONESIA
Oleh
YENI ARISTA
10311669
PENDIDIKAN MATEMATIKA KELAS B
SEMESTER II

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2010/2011
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam yang sampai saat ini masih memberikan limpahan kasih sayangnya kepada kita dan khususnya kepada kami karena dapat menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Ilmu Budaya Dasar ini,dengan judul “Krisis Budaya Indonesia”.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada ibu Dra.Dwi Tyas Utaminingsih M.H selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami dan kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini.

         Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan tugas ini, untuk itu kritik dan saran sangat penyusun diperlukan demi perbaikan kedepannya. Terakhir kami berharap semoga penyusun makalah ini akan dapat memberikan manfaat khususnya bagi saya.
                       
                                                                                          Metro, Juni 2011
                                                                                         
                                                                                          Penyusun




ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…….………………………………………….…       i
KATA PENGANTAR………………………………………………....       ii
DAFTAR ISI…..………………………………………………….……       iii

BAB  I  PENDAHULUAN……………………………………………       1

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Krisis Kebudayaan Indonesia…………………........………….     3
2.2  Jalan Keluar Krisis Budaya………..……...……………….......      5
2.3  Contoh Permasalahan Budaya Indonesia …………….…….....     7         
2.4  Masalah Kebudayaan dalam Masyarakat …………………….      11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan….……………………………….………………     18
3.2 Saran…………………………………………………………     19

DAFTAR PUSTAKA



iii
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara kepulauan. Negara ini mempunyai ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari ribuan pulau tersebut terdapat berbagai macam suku, ras, adat, dan budaya serta alam lainnya. Berbicara masalah budaya, Indonesia mempunyai berbagai  macam kebudayaan. Hampir setiap pulau ditinggali oleh suku dan ras dan tiap-tiap suku dan ras mempunyai kebudayaannya sendiri.
Dengan demikian, Indonesia kaya akan budaya. Namun seiring berkembangnya zaman,  kebudayaan di Indonesia mulai luntur. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi yang mempunyai dampak negatif terhadap kebudayaan Indonesia. Dengan demikian pola piker Indonesia terpengaruh/ikut-ikutan pola budaya Barat, sehingga mereka melupakan kebudayaannya sendiri. Selain itu pemerintah terlihat asal-asalan mengurusi budaya, dengan mudahnya Negara lain mengakui kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya.
Dengan banyaknya media elektronik kebudayaan barat mulai mengubah pola pikir masyarakat Indonesia. Karena pola pikir masyarakat Indonesia yang masih rendah, mereka dengan mudah mengikuti budaya barat tanpa adanya filtrasi. Sehingga mereka cenderung melupakan kebudayaanya sendiri. Selain itu, pemerintah terkesan asal- asalan mengurusi budaya. Sehingga dengan mudahnya Negara lain mengakui kebudayaanIndonesia sebagai miliknya. Apabila hal ini terus berlangsung maka kebudayaan Indonesia akan mati.
1
Apabila kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu menjadikan krisis budaya terjadi dalam 3 masa, yaitu:
a.       kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
b.      kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
c.       lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.









2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Krisis Kebudayaan Indonesia
Situasi kebudayaan Indonesia, menurut “Surat Kebudayaan” itu digambarkan sedang berada dalam “krisis kebudayaan” yang terus mengalami pemiskinan, karena telah terjadi kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum”. Pemiskinan, kemerosotan, pendangkalan itu misalnya nampak dari hilangnya rasa malu sehingga orang negeri ini menjadi manusia-manusia yang tidak punya malu lagi. Kegagalan demi kegagalan yang dialami ketika menjadi penanggungjawab daerah tidak membuatnya mundur dengan sukarela, bahwa mencoba untuk terus bertahan. Tangungjawab terhadap pekerjaan merupakan bentuk lain dari pemiskinan, kemerosotan budaya yang menerpa itu.
Sedangkan mengenai “pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot” diperlihatkan oleh kebersiteguhan pada budaya ghetto, sektarisme, hanya mementingkan kepentingan ego pribadi ataupun kolektif. Mempolitisir agama merupakan salah satu bentuk dari “pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot” budaya juga adanya, yang salah-salah akan berujung pada kobaran konflik baik vertikal maupun horisontal. Ghettoisme budaya akan tidak segan menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, terutama tujuan politik dan ekonomi. Pola pikir dan mentalisme pun
3
tidak lain dari bentuk «pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot» budaya. ”Pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot” budaya ini, kemudian akan menjelmakan diri ke dalam kebijakan dan pilihan politik, karena politik merupakan pencerminan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Politik daerah atau negeri dengan demikian akan dikendalikan oleh orang-orang bebal budaya, miskin budaya atau bahkan yang tanpa kebudayaan sama sekali. “Pendangkalan dan penyempitan baik definisi, bobot” budaya begini, malangnya menjalar ke semua bidang kehidupan di berbagai tingkat. Sehingga bisa dikatakan negeri kita secara kebudayaan mengalami ”krisis kebudayaan” dan “krisis keindonesiaan” yang menyeluruh.
“Surat Kebudayaan” menunjukkan tiga musabab utama dari “krisis kebudayaan”, “krisis keindonesiaan” dan “kebudayaan Indonesia seperti berada dalam pengasingan” yaitu:
“Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:
1.      Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme
pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai
khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.
2.      Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta
4
menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya) .
3.      Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut”.

2.2  Jalan Keluar Krisis Budaya

          Di hadapan keadaan demikian “Surat Kebudayaan” menyarankan jalan keluar berikut:
1.      Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.
2.      Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat,
5
untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.
3.      Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
4.      Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih– sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya,
lengkap dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.
5.      Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
6.      Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
6

7.      Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika
kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di
hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini”.

2.3 Contoh Permasalahan mengenai Budaya Indonesia

          Ada beberapa budaya dan kuliner Indonesia yang di klaim oleh Malaysia, yaitu:
1.      Batik
Sungguh sangat menyakitkan hati bangsa Indonesia atas ulah negeri Jiran yang telah mengakui batik sebagai budayanya. Selain itu juga sangat meresahkan para perajin Batik Indonesia. Bangsa ini harus segera menghapus baying-bayang yang meresahkan itu agar para perajin batik Indonesia dikemudian hari tidak perlu memberi royalty kepada Negara lain.Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda(Intangible Cultural Heritage).
2.      Tari Pendet
7
Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai asset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begiu lama,telah di klaim Negara Jiran.. pola pengklaimannya pun dilakukan melalui momentum formal kenegaraan, seperti melalui media promosi “Visit Malaysia Year” yang disrlipkan kebudayaan nasional Indonesia.
3.      Wayang Kulit
4.      Angklung
5.      Reog Ponorogo
6.      Lagu Rasa Sayange
7.      Bunga Raflesia Arnoldy
Klaim Malaysia terhadap bunga Raflesia Arnoldi membangkitkan semangat Kelompok Peduli Puspa Langka Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang untuk melestarikan habitat flora langka itu.
8.      Keris
9.      Rendang Padang(Sumatra Barat)
Rendang daging adalah masakan tradisional bersantan dengan daging sapi sebagai bahan utamanya. Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia ini sangat digemari di semua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Selain daging sapi, rendang juga menggunakan kelapa(karambia), dan campuran dari berbagai bumbu khas Indonesia di antaranya Cabai (lado), lengkuas, serai, bawang dan aneka bumbu
8
lainnya yang biasanya disebut sebagai (Pemasak). Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatra Barat yaitu musyawarah, yang berangkat dari 4 bahan pokok, yaitu:
1.      Dagiang (Daging Sapi), merupakan lambang dari Niniak Mamak (para pemmpin Suku adat).
2.      Karambia (Kelapa), merupakan lambang Cadiak Pandai (Kaum Intelektual).
3.      Lado (Cabai), merupakan lambang Alim Ulama yang pedas, tegas untuk mengajarkan syarak (agama).
4.      Pemasak (Bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang. Rendang ini juga di akui oleh Malaysia sebagai salah satu kuliner khas Malaysia.

Ada beberapa Kebudayaan Indonesia lain yang mungkin sudah Hak Patenkan Malaysia
1.      Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
2.      Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
3.      Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
4.      Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
5.      Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
6.      Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
7.      Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
9
8.      Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
9.      Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
10.  Lagu Injit-injit Semut dari Kalimantan Barat oleh Pemerintah Malaysia
11.  Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
12.  Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
13.  Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
14.  Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
15.  Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
16.  Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
17.  Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
18.  Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
19.  Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
20.  Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
21.  Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
22.  Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
23.  Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
24.  Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
25.  Kain Ulos oleh Malaysia
26.  Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
10
27.  Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia

2.4  Masalah Kebudayaan dalam Masyarakat
Sebuah persoalan dalam bidang budaya yang masih mendesak pemahaman kita ialah mengapa kebudayaan Indonesia sejak tahun 1980-an berada dalam keadaan kurang mengembirakan, ia semakin tergeser, tergusur, dan tersingkir dari pusat dan puncak perhatian dan kesibukan kita sehari-hari. Ini memang bukan persoalan baru, dan memang sudah ramai di perbincangkan pada awal 1980-an, tapi setiap ada yang mempertanyakan apa yang saat ini harus di perhatikan dalam sebuah kebudayaan Indonesia, cenderung menunjuk pada tidak lagi mementingkan kebudayaan sebagai problematika terpenting.
Musim temu budaya daerah sebagai penyangga budaya nasional bermunculan diberbagai kota seakan-akan budaya kita pada masa ini menghadapi kemunduran biarpun seorang pakar budaya masih penting. Seorang pakar budaya pada masa pra-Orde baru mungkin seperti seorang Iwan Fals, Abdurrahman Wahid, atau Laksamana Soedomo. Pada tahun 1970-an orang sudah mengeluh tentang kebudayaan, tapi pada waktu itu masih ada hiruk-pikuk perdebatan dan persaingan yang tak banyak tersisa.
Sejauh itu masih ada yang perlu di pertanyakan terhadap kesadaran akan wawasan Nusantara yang kadang masih diselimuti oleh chauvinis kedaerahan dan kebudayaan yang pada akhir-akhir ini akan kembali berona sejarah seperti ketika berkecamuknya
11
masa renaisance dan aufklarung di benua barat tiga abad yang lalu. Apabila dengan kian terasanya arus globalisasi peradaban masyarakat industri maju, yang mengandalkan materialisme dan membawa wabah konsumerisme, pengusuran mau tak mau pasti terjadi. Banyak sendi budaya yang ditinggalkan.
Impor Asing dan Modern. Diantara masalah itu, antara lain mengenai pemahaman kita tentang kebudayaan secara umum, khususnya kebudayaan Indonesia atau Nasional, kebudayaan -kebudayaan daerah dan asing peranan agama, ilmu pengetahuan budaya, bahkan, sampai pada masalah yang lebih kecil seperti, masalah minat baca dan sebagainya. Drs HM. Idham Samawi mengatakan, bahwa apa yang kita rasakan saat ini adalah sebuah kondisi di mana bangsa dan negara saat ini berada dalam suatu arus yang sangat besar yang membatasi (marjinalisasi). Kita dapat melihat secara langsung bagaimana petani terpuruk, buah lokal digusur oleh buah impor, kebudayaan kita tersingkir oleh kebudayaan asing, dalam kasus kebudayaan, kita melihat dengan jelas bagaimana anak-anak disihir oleh film-film asing ditengah ketidakmampuan kita melihat film bagi anak-anak kita. Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai- nilai kebudayaan yang menjunjung tinggi keselarsan (harmoni), cenderung tersingkir. Sebab, nilai- nilai kebudayaan itu di pandang kurang relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Masalah merampingnya kebudayaan Indonesia akhir-akhir ini menjadi perbincangan di kalangan seniman dan budayawan. Hal itu berarti bahwa sebenarnya kalangan seniman dan budayawan bukan bereaksi menghadapi realitas dan masalah yang
12
timbul, melainkan mereka sekedar bereaksi menanggapi masalah dan realitas itu. Pejabat pemerintah yang punya kompetisi dengan kesenian tradisional supaya citra negara terangkat dimata dunia dan pencaturan.
International, masih berdiri dengan perjanjian (konvensi) lama, negara dan pejabat negera hanya memfungsikan kesenian Indonesia untuk kepentingan praktis, karena titik tolak pandangan dan sikapnya masih pada batas bahwa kesenian tradisional dan modern adalah instrumen kegiatan ritual. Hal itu tidak membutuhkan perhatian dalam porsi yang besar, yang sama dengan sektor-sektor kehidupan lain tidakkah jatah untuk kebudayaan hanya 2,7 persen dari ranangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) pada berita terakhir.
Kebudayaan masih dianggap instrumen yang berfungsi praktis, umpamanya untuk tujuan pelancongan (turisme) bagi peningkatan sumber devisa negara, para seniman yang mengembangkan etos kebudayaan masih bergulat dengan banyak pihak kearah perbaikan kesenian Indonesia di masa depan. Raudal Tanjung Banua mengatakan, bahwa tataran kebudayaan dengan kemungkinan nasionalisme kebudayaan tidak terlalu digali, bahkan cendrung dinibsikan. Akan tetapi dari proyek nasionalisme yang mengotamakan arus negara itu, bangsa-bangsa diringkus menjadi sekedar suku bangsa. Disusun sebuah ruang kebudayaan yang lebih lapang telah dihilangkan, demi kemauan politis.
Perlu di pahami kita memperbincangkan tergusurnya kedudukan kebudayaan sebagai suatu pranata sosial. itu tidak membicarakan budaya secara detail.bukan juga
13
nilai budaya masyarakat. Ini perlu ditekankan karena perbincangan tentang tergusurnya peran sosial budaya sering di pahami secara keliru sebagai kritik atau tuduhan terhadap sosial budaya. Seakan- akan gejala ini saya kira merupakan kesalahan pihak budayawan.Kesalahpahaman seperti itu, merupakan akibat dominasi tradisi romantisme yang terlalu menekankan aspek individual budayawan dan nilainya. Mengabaikan kebudayaan sebagai pranata sosial. menyebut nasib pranata kebudayaan dianggap sebagai serangan pribadi terhadap para budayawan.
Akibatnya, budayawan yang berwawasan sempit menyangkal terjadinya gejala pengerdilan dan penggusuran kebudayaan dalam pembangunan. Karena merasa di serang, mereka membela diri dan membela status quo dengan mengatakan kebudayaan sekarang baik- baik saja, kalau ada penilaian yang negatif atas perkembangan budaya, maka itu di anggap sebagai kegagalan atau ketololan para kritikus budaya yang kurang paham kepada kebudayaan.
Model hubungan inilah, kita menampilkan cara-cara pemahaman yang baru sebagai paradigama postrukturalisme, dengan melibatkan sebagai disiplin yang lain, yang kemudian melahirkan pemahaman kebudayaan-kebudayaan yang bernuansa Islami dan berpegang teguh pada agama itu sendiri. Kondisi masyarakat Indonesia yang dinamis sebagai akibat hubungan antara agama dan kebudayaan. Penelitian dan studi kultural perlu ditekankan untuk dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka mengungkapkan latar belakang sosial khususnya yang ada di Indonesia, sehingga agama dan kebudayaan benar-benar memiliki arti bagi masyarakat luas.
14
Sejumlah kegiatan kebudayaan yang bersentuhan dengan pemerintah lebih banyak ditekankan pada orientasi pariwisata. Kebudayaan tak lebih menjadi komoditi. Dengan logika seperti ini, maka perkembangan budaya tak dapatdiharapkan akan menjadi lebih baik. Bukan hanya kebudayaan kemudian akan menjadi artefak dan komoditas belaka, namun juga kebudayaan dalam artian ‘proses’ akan menjadi mandul.
Pandangan yang sering digunakan dalam melihat relasi budaya dan pariwisata adalah kebudayaan sebagai asset yang dapat mengundang turis datang ke tempat kebudayaan itu hidup. Masyarakat dipacu untuk menghidupkan berbagai kesenian dan peristiwa budaya.
Dengan berbagai program yang dirancang. Hal ini, saya duga, karena pemerintah memang tidak memiliki definisi dan konsepsi yang jelas mengenai kebudayaan, atau kesenian dalam arti khusus.Ketidakmengertian ini sering kali diikuti dengan penyelenggaraaan peristiwa budaya yang justru melemahkan proses kebudayaan itu sendiri. Tidak sedikit iven kebudayaan yang kemudian malah menjadi bom waktu dengan menyisakan berbagai konflik dan pertentangan diantara pelaku kebudayaan.
Misalnya saja, apa yang berbekas dari peristiwa Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi beberapa tahun yang lalu, yang dengan habis-habisan didukung oleh Pemprov Sumatra Barat dan Pemkot Bukittinggi. Rasanya tidak banyak efek yang berbekas dan menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan di Sumatra Barat, selain hanya sebagai tuan rumah yang ramah dan kemudian dicatat dalam sejarah kongres berikutnya.
15
Namun demikian, tetap saja pemerintah atau dinas yang mendapat tanggung jawab dalam ranah kebudayaan menciptakan berbagai iven ini. Setelah sekian banyak peristiwa kebudayaan yang pernah digelar, tak pernah ada kajian atau evaluasi yang kemudian menjadi pijakan pada arah pengembangan proses kebudayaan kita. Seluruh iven atau program digelar secara dadakan dan tanpa persiapan dan orientasi, sehingga tidak betul-betul dapat menjadi acuan dalam program berikutnya. Inilah yang menjadi perdebatan dalam penyelenggaraan berbagai iven kebudayaan yang digelar oleh pemerintah, sesuatu yang pernah dicap sebagai peristiwa kebudayaan plat merah.
Pemerintah memang memiliki kekuatan dalam hal penyediaan dana dan fasilitas. Sesuatu yang kemudian menjadi nilai tawar yang dimiliki pemerintah. Namun kebudayaan tidak hanya dibangun dan didasarkan pada masalah ini saja. Ia menyangkut mentalitas dan elan vital yang dimiliki manusia secara individu dan kolektif.
Pada  suatu surat kabar: Padang, misalnya, yang menjadi pusat administrasi Sumatra Barat, tidak serta merta dapat menentukan dan mendikte kebudayaan macam apa yang sedang atau akan dikembangkan. Apalagi bila melekatkan kata ‘Minangkabau’ di dalamnya. Karena Kota Padang memang bukan daerah utama yang secara kultural bersangkut paut dengan makna di dalam kata ‘Minangkabau’. Keuntungan yang dimiliki Padang adalah ia menjadi pusat perkembangan dimana kaum intelektual terdidik memilih tinggal di sana, dan pemerintah dengan segala perangkatnya memilih untuk menjadikannya ‘markas besar’.
dapat dibayangkan, bagaimana bila Festival Minangkabau atau Pekan Budaya .
16
Minangkabau, atau peristiwa dengan nama lain dalam konsepsi yang akan digelar pada akhir bulan November
itu dilangsungkan di sebanyak mungkin tempat. Misalnya saja, di Bukittinggi yang kini memiliki perpustakaan mewah itu menjadi tempat sebuah seminar atau kongres, sebagai mana dulu Bukittinggi pernah menjadi ladang pemikiran dan iven intelektual, dengan banyak tokoh dan persitiwa intelektual digelar. Sementara di Payakumbuh digelar pesta sastra dan seni, karena memang Payakumbuh banyak melahirkan seniman dan sastrawan. Untuk kegiatan pertunjukan kontemporer dilangsungkan di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatra Barat. Dan seterusnya.
Rancangan seperti ini, rasanya pernah digulirkan oleh DKSB dalam programnya. Dan iven itu cukup berhasil, misalnya di Batipuh dan Taeh. Setidaknya masyarakat yang menjadi pelaku dari kebudayaan dapat mengapresiasi dan menumbuhkan inspirasi dan motivasi untuk proses selanjutnya. Masyarakat menjadi gembira dan bangga, karena mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka, kebudayaan mereka, dan apresiasi mereka terhadap kebudayaan dan kesenian. Merekalah pelaku dan penikmat dari kebudayaan dan kesenian itu. Namun saya hanya dapat membayangkan, sekaligus selalu berharap bahwa kebudayaan kita akan menjadi lebih baik. Dengan saling mendengarkan dan mengkritik kerja-kerja kebudayaan. Dan inilah salah satu bagian dari proses kebudayaan itu. Siapa tahu, nanti akan lebih jelas arah perkembangannya.

17
BAB III
PENUTUP

3.1            Kesimpulan
Apabila kebudayaan sudah memuncak pada krisisnya, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam 3 masa, yaitu:
d.      kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
e.       kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
f.       lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.




18
3.2            Saran
Seperti yang telah di jelaskan di bab sebelumnya, kelangsungan kebudayaan Indonesia sangat bergantung kepada masyarakat itu sendiri. Warga Negara bertanggung Jawab untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia agar tetap utuh dan tidak punah/tidak jatuh ketangan Negara lain.
Dari pembahasan di atas ada beberapa yang harus kita jaga dan kita lestarikan sebagai upaya agar tidak terjadi krisis budaya Indonesia:
1.      Kita Harus menjaga serta lebih peduli dengan produk Indonesia.
2.      Pemerintah harus lebih menjaga dan mengenali produk Indonesia sebelum di ambil oleh Negara lain.
3.      Kita juga melestarikan kebudayaan Indonesia seperti kesenian dan wisata kuliner Indonesia yang telah di klaim Malaysia sebagai kesenian & wisata kuliner khas Negara maupun lagu kenegaraannya.
4.      Pemerintah harus tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan indonesia dengan cara membuat peraturan perundangan yang bertujuan untuk melindungi budaya bangsa.
5.      Dan jika perlu pemerintah harus mematenkan budaya-budaya yang ada di Indonesia agar budaya-budaya bangsa tidak jatuh ke tangan bangsa lain.
6.       Pemerintah harus membangun sumber daya manusia dan meningkatkanan daya saing bangsa dapat dilakukan dengan menanamkan norma dan nilai luhur budaya Indonesia sejak dini, dengan cara sosialisasi nilai budaya yang ditanamkan kepada anak sejak usia prasekolah. Hal ini ditujukan untuk mengangkat kembali identitas bangsa Indonesia.
19
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus.2008.Kebudayaan Kita Semakin Tergusur.(online).
Diakses Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.20 wib.

Anonimus.2006.Masalah Budaya.(online).
http://synaps.wordpress.com/2006/01/07/masalah-budaya/
Diakses Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.22 wib.

Anonimus.2009.Masalah Yang Dihadapi Oleh Budaya Indonesia.(online).
Diakses Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.06 wib.

Anonimus.2009.Kebudayaan dalam Masyarakat.(online).
Diakses Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.50 wib.

Anonimus.2009.Masalah Kebudayaan di Indonesia.(online).
Diakses Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.57 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.