TUGAS INDIVIDU
ILMU BUDAYA DASAR
Diampu oleh
Dra.DWI TYAS UTAMININGSIH M.H
KRISIS BUDAYA INDONESIA
Oleh
YENI ARISTA
10311669
PENDIDIKAN
MATEMATIKA KELAS B
SEMESTER
II
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2010/2011
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam yang
sampai saat ini masih memberikan limpahan kasih sayangnya kepada kita dan
khususnya kepada kami karena dapat menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Ilmu
Budaya Dasar ini,dengan judul “Krisis Budaya Indonesia”.
Pada kesempatan
ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada ibu Dra.Dwi Tyas Utaminingsih M.H selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada kami dan kepada semua pihak yang telah membantu
terselesainya tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam pembuatan tugas ini, untuk itu kritik dan saran sangat
penyusun diperlukan demi perbaikan kedepannya. Terakhir kami berharap semoga
penyusun makalah ini akan dapat memberikan manfaat khususnya bagi saya.
Metro,
Juni 2011
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…….………………………………………….… i
KATA
PENGANTAR……………………………………………….... ii
DAFTAR ISI…..………………………………………………….…… iii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………… 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Krisis
Kebudayaan Indonesia…………………........…………. 3
2.2 Jalan
Keluar Krisis Budaya………..……...………………....... 5
2.3 Contoh
Permasalahan Budaya Indonesia …………….……..... 7
2.4 Masalah
Kebudayaan dalam Masyarakat
……………………. 11
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan….……………………………….……………… 18
3.2
Saran………………………………………………………… 19
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara kepulauan. Negara ini mempunyai
ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari ribuan pulau
tersebut terdapat berbagai macam suku, ras, adat, dan budaya serta alam
lainnya. Berbicara masalah budaya, Indonesia mempunyai berbagai macam kebudayaan. Hampir setiap pulau
ditinggali oleh suku dan ras dan tiap-tiap suku dan ras mempunyai kebudayaannya
sendiri.
Dengan demikian, Indonesia kaya akan budaya. Namun seiring
berkembangnya zaman, kebudayaan di
Indonesia mulai luntur. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi
yang mempunyai dampak negatif terhadap kebudayaan Indonesia. Dengan demikian
pola piker Indonesia terpengaruh/ikut-ikutan pola budaya Barat, sehingga mereka
melupakan kebudayaannya sendiri. Selain itu pemerintah terlihat asal-asalan
mengurusi budaya, dengan mudahnya Negara lain mengakui kebudayaan Indonesia
sebagai kebudayaannya.
Dengan banyaknya media elektronik kebudayaan barat mulai
mengubah pola pikir masyarakat Indonesia. Karena pola pikir masyarakat
Indonesia yang masih rendah, mereka dengan mudah mengikuti budaya barat tanpa
adanya filtrasi. Sehingga mereka cenderung melupakan kebudayaanya sendiri. Selain
itu, pemerintah terkesan asal- asalan mengurusi budaya. Sehingga dengan
mudahnya Negara lain mengakui kebudayaanIndonesia sebagai miliknya. Apabila hal
ini terus berlangsung maka kebudayaan Indonesia akan mati.
1
Apabila kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline)
mulai tampak. Keruntuhan itu menjadikan krisis budaya terjadi dalam 3 masa,
yaitu:
a. kemerosotan
kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan
kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas.
Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu
tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
b. kehancuran
kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan
terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku
dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini
sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati
dan mejadi fosil.
c. lenyapnya
kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur
dan lenyap.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Krisis Kebudayaan
Indonesia
Situasi kebudayaan Indonesia,
menurut “Surat Kebudayaan” itu digambarkan sedang berada dalam “krisis
kebudayaan” yang “terus mengalami pemiskinan,
karena telah terjadi kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi,
bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum”. Pemiskinan, kemerosotan, pendangkalan itu misalnya nampak
dari hilangnya rasa malu sehingga orang negeri ini menjadi manusia-manusia yang
tidak punya malu lagi. Kegagalan demi kegagalan yang dialami ketika menjadi
penanggungjawab daerah tidak membuatnya mundur dengan sukarela, bahwa mencoba
untuk terus bertahan. Tangungjawab terhadap pekerjaan merupakan bentuk lain
dari pemiskinan, kemerosotan budaya yang menerpa itu.
Sedangkan mengenai “pendangkalan,
dan penyempitan baik definisi, bobot” diperlihatkan oleh kebersiteguhan
pada budaya ghetto, sektarisme, hanya mementingkan kepentingan ego pribadi
ataupun kolektif. Mempolitisir agama merupakan salah satu bentuk dari “pendangkalan,
dan penyempitan baik definisi, bobot” budaya juga adanya, yang salah-salah
akan berujung pada kobaran konflik baik vertikal maupun horisontal. Ghettoisme
budaya akan tidak segan menggunakan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan, terutama tujuan politik dan ekonomi. Pola pikir dan mentalisme pun
3
tidak lain dari bentuk «pendangkalan,
dan penyempitan baik definisi, bobot» budaya. ”Pendangkalan, dan
penyempitan baik definisi, bobot” budaya ini, kemudian akan menjelmakan
diri ke dalam kebijakan dan pilihan politik, karena politik merupakan pencerminan
terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Politik daerah atau
negeri dengan demikian akan dikendalikan oleh orang-orang bebal budaya, miskin
budaya atau bahkan yang tanpa kebudayaan sama sekali. “Pendangkalan dan
penyempitan baik definisi, bobot” budaya begini, malangnya menjalar ke
semua bidang kehidupan di berbagai tingkat. Sehingga bisa dikatakan negeri kita
secara kebudayaan mengalami ”krisis kebudayaan” dan “krisis
keindonesiaan” yang menyeluruh.
“Surat Kebudayaan” menunjukkan tiga musabab utama dari
“krisis kebudayaan”, “krisis keindonesiaan” dan “kebudayaan Indonesia seperti
berada dalam pengasingan” yaitu:
“Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut
tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan
utama:
1. Kekuatan
kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme
pasar dan
melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai
khazanah
pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil
ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan
subjek daripadanya.
2. Kekuatan
negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan
(legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta
4
menjadikannya
sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara
telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu
sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai
materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana
suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya) .
3. Kekuatan
formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang
menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl,
sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan
hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka
justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan
hukum yang mereka anut tersebut”.
2.2 Jalan Keluar Krisis Budaya
Di hadapan keadaan demikian “Surat
Kebudayaan” menyarankan jalan keluar berikut:
1. Menolak
praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang
memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan
mereka.
2. Mengembalikan
kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman
melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat,
5
untuk
mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang
terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi
estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.
3. Menolak
kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai
alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak
dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun
universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari
ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
4. Memperjuangkan
kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma,
kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih– sebagai praktik
dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat
kemanusiaannya,
lengkap
dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan
oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi
kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.
5. Membuka
ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern,
maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian
yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar,
maupun kekuatan formalisme agama.
6. Merumuskan
dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara,
menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat
pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil
ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
6
7. Keindonesiaan
adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika
kesejarahannya,
ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di
hadapan
kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin
tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik
bangsa ini”.
2.3 Contoh Permasalahan
mengenai Budaya Indonesia
Ada
beberapa budaya dan kuliner Indonesia yang di klaim oleh Malaysia, yaitu:
1.
Batik
Sungguh sangat
menyakitkan hati bangsa Indonesia atas ulah negeri Jiran yang telah mengakui
batik sebagai budayanya. Selain itu juga sangat meresahkan para perajin Batik
Indonesia. Bangsa ini harus segera menghapus baying-bayang yang meresahkan itu
agar para perajin batik Indonesia dikemudian hari tidak perlu memberi royalty
kepada Negara lain.Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan
menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan
budaya tak benda(Intangible Cultural Heritage).
2.
Tari Pendet
7
Geram dan marah
muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan
Malaysia. Berbagai asset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begiu
lama,telah di klaim Negara Jiran.. pola pengklaimannya pun dilakukan melalui
momentum formal kenegaraan, seperti melalui media promosi “Visit Malaysia Year”
yang disrlipkan kebudayaan nasional Indonesia.
3.
Wayang Kulit
4.
Angklung
5.
Reog Ponorogo
6.
Lagu Rasa Sayange
7.
Bunga Raflesia Arnoldy
Klaim Malaysia terhadap bunga
Raflesia Arnoldi membangkitkan semangat Kelompok Peduli Puspa Langka Desa Tebat
Monok, Kabupaten Kepahiang untuk melestarikan habitat flora langka itu.
8.
Keris
9.
Rendang Padang(Sumatra Barat)
Rendang daging
adalah masakan tradisional bersantan dengan daging sapi sebagai bahan utamanya.
Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia ini sangat digemari di semua
kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Selain
daging sapi, rendang juga menggunakan kelapa(karambia), dan campuran dari
berbagai bumbu khas Indonesia di antaranya Cabai (lado), lengkuas, serai,
bawang dan aneka bumbu
8
lainnya yang
biasanya disebut sebagai (Pemasak). Rendang memiliki posisi terhormat dalam
budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi
masyarakat Minang Sumatra Barat yaitu musyawarah, yang berangkat dari 4 bahan
pokok, yaitu:
1. Dagiang
(Daging Sapi), merupakan lambang dari Niniak Mamak (para pemmpin Suku adat).
2. Karambia
(Kelapa), merupakan lambang Cadiak Pandai (Kaum Intelektual).
3. Lado
(Cabai), merupakan lambang Alim Ulama yang pedas, tegas untuk mengajarkan
syarak (agama).
4. Pemasak
(Bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang. Rendang ini juga
di akui oleh Malaysia sebagai salah satu kuliner khas Malaysia.
Ada beberapa Kebudayaan Indonesia
lain yang mungkin sudah Hak Patenkan Malaysia
1.
Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
2.
Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah
Malaysia
3.
Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah
Malaysia
4.
Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah
Malaysia
5.
Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
6.
Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
7.
Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
9
8.
Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
9.
Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
10. Lagu
Injit-injit Semut dari Kalimantan Barat oleh Pemerintah Malaysia
11. Alat
Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
12. Tari
Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
13. Tari
Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
14. Lagu
Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
15. Lagu
Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
16. Kursi
Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
17. Pigura
Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
18. Motif
Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
19. Desain
Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
20. Produk
Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
21. Badik
Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
22. Kopi
Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
23. Kopi
Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
24. Musik
Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
25. Kain
Ulos oleh Malaysia
26. Alat
Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
10
27. Lagu
Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
2.4 Masalah Kebudayaan dalam Masyarakat
Sebuah persoalan dalam bidang budaya yang masih mendesak pemahaman kita
ialah mengapa kebudayaan Indonesia sejak tahun 1980-an berada dalam keadaan
kurang mengembirakan, ia semakin tergeser, tergusur, dan tersingkir dari pusat
dan puncak perhatian dan kesibukan kita sehari-hari. Ini memang bukan persoalan
baru, dan memang sudah ramai di perbincangkan pada awal 1980-an, tapi setiap
ada yang mempertanyakan apa yang saat ini harus di perhatikan dalam sebuah
kebudayaan Indonesia, cenderung menunjuk pada tidak lagi mementingkan
kebudayaan sebagai problematika terpenting.
Musim temu budaya daerah sebagai penyangga budaya nasional bermunculan
diberbagai kota seakan-akan budaya kita pada masa ini menghadapi kemunduran
biarpun seorang pakar budaya masih penting. Seorang pakar budaya pada masa
pra-Orde baru mungkin seperti seorang Iwan Fals, Abdurrahman Wahid, atau
Laksamana Soedomo. Pada tahun 1970-an orang sudah mengeluh tentang kebudayaan,
tapi pada waktu itu masih ada hiruk-pikuk perdebatan dan persaingan yang tak banyak
tersisa.
Sejauh itu masih ada yang perlu di pertanyakan terhadap kesadaran akan
wawasan Nusantara yang kadang masih diselimuti oleh chauvinis kedaerahan dan
kebudayaan yang pada akhir-akhir ini akan kembali berona sejarah seperti ketika
berkecamuknya
11
masa renaisance
dan aufklarung di benua barat tiga abad yang lalu. Apabila dengan kian
terasanya arus globalisasi peradaban masyarakat industri maju, yang
mengandalkan materialisme dan membawa wabah konsumerisme, pengusuran mau tak
mau pasti terjadi. Banyak sendi budaya yang ditinggalkan.
Impor Asing dan Modern. Diantara masalah itu, antara lain mengenai
pemahaman kita tentang kebudayaan secara umum, khususnya kebudayaan Indonesia
atau Nasional, kebudayaan -kebudayaan daerah dan asing peranan agama, ilmu
pengetahuan budaya, bahkan, sampai pada masalah yang lebih kecil seperti,
masalah minat baca dan sebagainya. Drs HM. Idham Samawi mengatakan, bahwa apa
yang kita rasakan saat ini adalah sebuah kondisi di mana bangsa dan negara saat
ini berada dalam suatu arus yang sangat besar yang membatasi (marjinalisasi).
Kita dapat melihat secara langsung bagaimana petani terpuruk, buah lokal
digusur oleh buah impor, kebudayaan kita tersingkir oleh kebudayaan asing,
dalam kasus kebudayaan, kita melihat dengan jelas bagaimana anak-anak disihir
oleh film-film asing ditengah ketidakmampuan kita melihat film bagi anak-anak
kita. Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya
pragmatis, nilai- nilai kebudayaan yang menjunjung tinggi keselarsan (harmoni),
cenderung tersingkir. Sebab, nilai- nilai kebudayaan itu di pandang kurang
relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Masalah merampingnya kebudayaan Indonesia akhir-akhir ini menjadi
perbincangan di kalangan seniman dan budayawan. Hal itu berarti bahwa
sebenarnya kalangan seniman dan budayawan bukan bereaksi menghadapi realitas
dan masalah yang
12
timbul,
melainkan mereka sekedar bereaksi menanggapi masalah dan realitas itu. Pejabat
pemerintah yang punya kompetisi dengan kesenian tradisional supaya citra negara
terangkat dimata dunia dan pencaturan.
International, masih berdiri dengan perjanjian (konvensi) lama, negara
dan pejabat negera hanya memfungsikan kesenian Indonesia untuk kepentingan
praktis, karena titik tolak pandangan dan sikapnya masih pada batas bahwa
kesenian tradisional dan modern adalah instrumen kegiatan ritual. Hal itu tidak
membutuhkan perhatian dalam porsi yang besar, yang sama dengan sektor-sektor
kehidupan lain tidakkah jatah untuk kebudayaan hanya 2,7 persen dari ranangan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) pada berita terakhir.
Kebudayaan masih dianggap instrumen yang berfungsi praktis, umpamanya
untuk tujuan pelancongan (turisme) bagi peningkatan sumber devisa negara, para
seniman yang mengembangkan etos kebudayaan masih bergulat dengan banyak pihak
kearah perbaikan kesenian Indonesia di masa depan. Raudal Tanjung Banua
mengatakan, bahwa tataran kebudayaan dengan kemungkinan nasionalisme kebudayaan
tidak terlalu digali, bahkan cendrung dinibsikan. Akan tetapi dari proyek
nasionalisme yang mengotamakan arus negara itu, bangsa-bangsa diringkus menjadi
sekedar suku bangsa. Disusun sebuah ruang kebudayaan yang lebih lapang telah
dihilangkan, demi kemauan politis.
Perlu di pahami kita memperbincangkan tergusurnya kedudukan kebudayaan
sebagai suatu pranata sosial. itu tidak membicarakan budaya secara detail.bukan
juga
13
nilai budaya
masyarakat. Ini perlu ditekankan karena perbincangan tentang tergusurnya peran
sosial budaya sering di pahami secara keliru sebagai kritik atau tuduhan
terhadap sosial budaya. Seakan- akan gejala ini saya kira merupakan kesalahan
pihak budayawan.Kesalahpahaman seperti itu, merupakan akibat dominasi tradisi
romantisme yang terlalu menekankan aspek individual budayawan dan nilainya.
Mengabaikan kebudayaan sebagai pranata sosial. menyebut nasib pranata
kebudayaan dianggap sebagai serangan pribadi terhadap para budayawan.
Akibatnya, budayawan yang berwawasan sempit menyangkal terjadinya gejala
pengerdilan dan penggusuran kebudayaan dalam pembangunan. Karena merasa di
serang, mereka membela diri dan membela status quo dengan mengatakan kebudayaan
sekarang baik- baik saja, kalau ada penilaian yang negatif atas perkembangan
budaya, maka itu di anggap sebagai kegagalan atau ketololan para kritikus
budaya yang kurang paham kepada kebudayaan.
Model hubungan inilah, kita menampilkan cara-cara pemahaman yang baru
sebagai paradigama postrukturalisme, dengan melibatkan sebagai disiplin yang
lain, yang kemudian melahirkan pemahaman kebudayaan-kebudayaan yang bernuansa
Islami dan berpegang teguh pada agama itu sendiri. Kondisi masyarakat Indonesia
yang dinamis sebagai akibat hubungan antara agama dan kebudayaan. Penelitian
dan studi kultural perlu ditekankan untuk dapat memberikan sumbangan yang
positif dalam rangka mengungkapkan latar belakang sosial khususnya yang ada di
Indonesia, sehingga agama dan kebudayaan benar-benar memiliki arti bagi
masyarakat luas.
14
Sejumlah kegiatan kebudayaan yang bersentuhan dengan pemerintah lebih
banyak ditekankan pada orientasi pariwisata. Kebudayaan tak lebih menjadi
komoditi. Dengan logika seperti ini, maka perkembangan budaya tak
dapatdiharapkan akan menjadi lebih baik. Bukan hanya kebudayaan kemudian akan
menjadi artefak dan komoditas belaka, namun juga kebudayaan dalam artian
‘proses’ akan menjadi mandul.
Pandangan yang sering digunakan dalam melihat relasi budaya dan pariwisata adalah kebudayaan sebagai asset yang dapat mengundang turis datang ke tempat kebudayaan itu hidup. Masyarakat dipacu untuk menghidupkan berbagai kesenian dan peristiwa budaya.
Pandangan yang sering digunakan dalam melihat relasi budaya dan pariwisata adalah kebudayaan sebagai asset yang dapat mengundang turis datang ke tempat kebudayaan itu hidup. Masyarakat dipacu untuk menghidupkan berbagai kesenian dan peristiwa budaya.
Dengan berbagai program yang dirancang. Hal ini, saya duga, karena
pemerintah memang tidak memiliki definisi dan konsepsi yang jelas mengenai
kebudayaan, atau kesenian dalam arti khusus.Ketidakmengertian ini sering kali
diikuti dengan penyelenggaraaan peristiwa budaya yang justru melemahkan proses
kebudayaan itu sendiri. Tidak sedikit iven kebudayaan yang kemudian malah
menjadi bom waktu dengan menyisakan berbagai konflik dan pertentangan diantara
pelaku kebudayaan.
Misalnya saja, apa yang berbekas dari peristiwa Kongres Kebudayaan V di
Bukittinggi beberapa tahun yang lalu, yang dengan habis-habisan didukung oleh
Pemprov Sumatra Barat dan Pemkot Bukittinggi. Rasanya tidak banyak efek yang
berbekas dan menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan di Sumatra Barat,
selain hanya sebagai tuan rumah yang ramah dan kemudian dicatat dalam sejarah
kongres berikutnya.
15
Namun demikian,
tetap saja pemerintah atau dinas yang mendapat tanggung jawab dalam ranah
kebudayaan menciptakan berbagai iven ini. Setelah sekian banyak peristiwa
kebudayaan yang pernah digelar, tak pernah ada kajian atau evaluasi yang
kemudian menjadi pijakan pada arah pengembangan proses kebudayaan kita. Seluruh
iven atau program digelar secara dadakan dan tanpa persiapan dan orientasi,
sehingga tidak betul-betul dapat menjadi acuan dalam program berikutnya. Inilah
yang menjadi perdebatan dalam penyelenggaraan berbagai iven kebudayaan yang
digelar oleh pemerintah, sesuatu yang pernah dicap sebagai peristiwa kebudayaan
plat merah.
Pemerintah memang memiliki kekuatan dalam hal penyediaan dana dan
fasilitas. Sesuatu yang kemudian menjadi nilai tawar yang dimiliki pemerintah.
Namun kebudayaan tidak hanya dibangun dan didasarkan pada masalah ini saja. Ia
menyangkut mentalitas dan elan vital yang dimiliki manusia secara individu dan
kolektif.
Pada suatu surat kabar: Padang,
misalnya, yang menjadi pusat administrasi Sumatra Barat, tidak serta merta
dapat menentukan dan mendikte kebudayaan macam apa yang sedang atau akan
dikembangkan. Apalagi bila melekatkan kata ‘Minangkabau’ di dalamnya. Karena
Kota Padang memang bukan daerah utama yang secara kultural bersangkut paut
dengan makna di dalam kata ‘Minangkabau’. Keuntungan yang dimiliki Padang adalah ia menjadi pusat perkembangan dimana kaum
intelektual terdidik memilih tinggal di sana ,
dan pemerintah dengan segala perangkatnya memilih untuk menjadikannya ‘markas
besar’.
dapat dibayangkan, bagaimana bila Festival Minangkabau atau Pekan Budaya .
dapat dibayangkan, bagaimana bila Festival Minangkabau atau Pekan Budaya .
16
Minangkabau,
atau peristiwa dengan nama lain dalam konsepsi yang akan digelar pada akhir
bulan November
itu dilangsungkan di sebanyak mungkin tempat. Misalnya saja, di
Bukittinggi yang kini memiliki perpustakaan mewah itu menjadi tempat sebuah
seminar atau kongres, sebagai mana dulu Bukittinggi pernah menjadi ladang
pemikiran dan iven intelektual, dengan banyak tokoh dan persitiwa intelektual
digelar. Sementara di Payakumbuh digelar pesta sastra dan seni, karena memang
Payakumbuh banyak melahirkan seniman dan sastrawan. Untuk kegiatan pertunjukan
kontemporer dilangsungkan di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatra Barat.
Dan seterusnya.
Rancangan seperti ini, rasanya pernah digulirkan oleh DKSB dalam
programnya. Dan iven itu cukup berhasil, misalnya di Batipuh dan Taeh.
Setidaknya masyarakat yang menjadi pelaku dari kebudayaan dapat mengapresiasi
dan menumbuhkan inspirasi dan motivasi untuk proses selanjutnya. Masyarakat
menjadi gembira dan bangga, karena mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka,
kebudayaan mereka, dan apresiasi mereka terhadap kebudayaan dan kesenian.
Merekalah pelaku dan penikmat dari kebudayaan dan kesenian itu. Namun saya
hanya dapat membayangkan, sekaligus selalu berharap bahwa kebudayaan kita akan
menjadi lebih baik. Dengan saling mendengarkan dan mengkritik kerja-kerja
kebudayaan. Dan inilah salah satu bagian dari proses kebudayaan itu. Siapa
tahu, nanti akan lebih jelas arah perkembangannya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Apabila kebudayaan sudah memuncak pada krisisnya, maka
keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam 3 masa, yaitu:
d. kemerosotan
kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan
kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas.
Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu
tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
e. kehancuran
kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan
terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku
dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini
sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati
dan mejadi fosil.
f. lenyapnya
kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur
dan lenyap.
18
3.2
Saran
Seperti yang
telah di jelaskan di bab sebelumnya, kelangsungan kebudayaan Indonesia sangat
bergantung kepada masyarakat itu sendiri. Warga Negara bertanggung Jawab untuk
menjaga dan melestarikan budaya Indonesia agar tetap utuh dan tidak punah/tidak
jatuh ketangan Negara lain.
Dari pembahasan
di atas ada beberapa yang harus kita jaga dan kita lestarikan sebagai upaya
agar tidak terjadi krisis budaya Indonesia:
1.
Kita Harus menjaga serta lebih peduli dengan produk
Indonesia.
2.
Pemerintah harus lebih menjaga dan mengenali produk
Indonesia sebelum di ambil oleh Negara lain.
3.
Kita juga melestarikan kebudayaan Indonesia seperti
kesenian dan wisata kuliner Indonesia yang telah di klaim Malaysia sebagai
kesenian & wisata kuliner khas Negara maupun lagu kenegaraannya.
4.
Pemerintah harus tegas dalam menjaga dan melestarikan
kebudayaan indonesia dengan cara membuat peraturan perundangan yang bertujuan
untuk melindungi budaya bangsa.
5.
Dan jika perlu pemerintah harus mematenkan
budaya-budaya yang ada di Indonesia agar budaya-budaya bangsa tidak jatuh ke
tangan bangsa lain.
6.
Pemerintah harus
membangun sumber daya manusia dan meningkatkanan daya saing bangsa dapat
dilakukan dengan menanamkan norma dan nilai luhur budaya Indonesia sejak dini,
dengan cara sosialisasi nilai budaya yang ditanamkan kepada anak sejak usia
prasekolah. Hal ini ditujukan untuk mengangkat kembali identitas bangsa Indonesia .
19
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimus.2008.Kebudayaan Kita Semakin Tergusur.(online).
Diakses
Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.20 wib.
Anonimus.2006.Masalah Budaya.(online).
http://synaps.wordpress.com/2006/01/07/masalah-budaya/
Diakses
Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.22 wib.
Anonimus.2009.Masalah Yang Dihadapi Oleh Budaya
Indonesia.(online).
Diakses
Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.06 wib.
Anonimus.2009.Kebudayaan dalam Masyarakat.(online).
Diakses
Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.50 wib.
Anonimus.2009.Masalah Kebudayaan di Indonesia.(online).
Diakses
Jumat, 3 Juni 2011. Pukul 14.57 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.