TUGAS KELOMPOK
PENDIDIKAN PANCASILA
SARJANA PENGANGGURAN
Dra.DWI TYAS UTAMININGSIH M.H
OLEH
AFLAH MUFIDATUL (10311681)
AULIA BAHADURI (10311693)
BANJAR AYU ASTUTI (10311695)
DARMA IRAWAN (10311698)
DENITA JULIANA GULTOM (10311700)
DESSY ALVIANTI (10311701)
DEWI KURNIA PUTRI (10311703)
DWI WAHYU AGUSTINA (10311680)
SEPTI PUSPITASARI (10311653)
YENI ARISTA (10311669)
PENDIDIKAN
MATEMATIKA
KELAS B
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
LAMPUNG
2010
KATA PENGANTAR
Puji
syukur marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat, karunia, dan petunjuk-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan cukup baik dengan topic yaitu “SARJANA
PENGANGGURAN”.
Walaupun
kami tahu makalah ini masih banyak sekali kekurangannya. Sehingga kami selaku
penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian, sehingga
jika dikemudian hari kami menyusun makalah akan lebih baik.
Metro, November
2010
Penyusun
PENDAHULUAN
Realita lembaga pendidikan di
Indonesia, khususnya pada tingkat perguruan tinggi patut untuk mendapat
perhatian khusus dari berbagai kalangan, khususnya pemerintah dan tak
terkecuali dari kalangan perguruan tinggi itu sendiri. Realitas yang menyatakan
bahwa belum mapannya para sarjana perguruan tinggi, dengan kata lain banyaknya
pengangguran yang berasal dari kalangan ini merupakan salah satu persoalan yang
memantik keprihatinan bagi siapapun. Para sarjana yang seharusnya memperoleh
pekerjaan yang layak setelah mereka menyelesaikan beban akademiknya seolah
tidak siap menghadapi realitas kehidupan yang semakin kompleks ini. Pasca
menyandang gelar sarjana atau selepas diwisuda, kebanyakan dari mereka tidak
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka
sendiri dan pihak lembaga pendidikan. Realitas ini seakan memperlebar borok
lembaga pendidikan kita yang terkesan tidak dapat mencetak para sarjana yang
langsung siap kerja atau memiliki kompetensi.
Bagaimana tidak, lembaga
pendidikan yang semula diharapkan dapat memberi bekal para mahasiswanya dengan
adanya skill atau ketrampilan tertentu yang pada akhirnya nanti dapat
menghantarkan mereka untuk siap bekerja sesuai dengan jurusan akademiknya,
ternyata belum dapat mencetak para sarjana yang benar-benar mumpuni, kompeten
di bidangnya. Dalam hal ini, tentunya ada kesalahan teknis maupun non-teknis
terkait dengan sistem pendidikan suatu lembaga pendidikan tersebut
Makin banyak saja sarjana
lulusan perguruan tinggi Indonesia jadi pengangguran. Jumlahnya kini mencapai
2,6 juta orang dari angka total pengangguran nasional sekitar 40 juta. Sebanyak
1,2 juta dari sarjana jadi penganggur terbuka, 1,4 juta lainnya setengah
pengangguran.Mereka merupakan lulusan perguruan tinggi baik sarjana maupun diploma.
Sedangkan penyebab pengangguran karena minimnya lapangan kerja dan rendahnya
tingkat keahlian.Seharusnya, lulusan perguruan tinggi harus memiliki keahlian,
misalnya di bidang wirausaha (bisnis).
A. SARJANA PENGANGGURAN
Bukan hal yang mustahil, bahwa gelar
sarjana dengan IPK cumlaude merupakan sebuah penipuan, mengingat saat ini kita
hidup di tengah kapitalisasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan.
Semuanya dapat dibeli dengan uang, sehingga perguruan tinggi pun banyak
mencetak sarjana yang tidak memiliki skill apapun, tak heran jika sarjana yang
menganggur kian menjamur setiap tahunnya.
Sangat
miris memang ketika terdapat banyak fakta di Indonesia tentang seseorang
berstatus sarjana tetapi ia tidak memiliki pekerjaan. Menurut Suara Merdeka,
"Sampai akhir 2005, tingkat pengangguran merangkak naik mencapai tidak
kurang dari 9,9%. Pada awal 2006, tingkat tersebut diperkirakan masih akan meningkat
menjadi lebih dari 11 %". Sementara Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006
menulis, "Per Februari 2005, dari 155,5 juta angkatan kerja, 10,85 juta
adalah pengangguran terbuka. Padahal per Agustus 2000, dari 95,70 juta angkatan
kerja, "hanya" 5,87 juta yang merupakan pengangguran terbuka."
Jika
dilihat dari realitas yang ada, memang kuantitas lulusan perguruan tinggi itu
tidak sebanding dengan kualitas. Dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia,
Indonesia terus menerus menjadi negara pengekor terhadap negara adidaya yang
memiliki kekuasaan, tanpa mampu menentukan sikap sendiri. Pun dalam hal
menyediakan lapangan pekerjaan bagi tenaga ahli dan terdidik di Indonesia,
Indonesia seakan kekurangan dana, sangat tidak sebanding dengan kekayaan alam
Indonesia yang melimpah yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sumber utama
pendapatan negara. Kompas edisi Sabtu, 10 Mei 2006 juga menulis,
"Bangsa ini juga mengalami brain drain untuk sumber daya
manusianya. Tenaga terdidik dan progesional yang seharusnya bisa ikut mambangun
negara ini dibajak atau memilih hengkan ke negara lain."
Sarjana
bukanlah hanya sekadar gelar. Itu adalah simbol bagi tiap orang yang telah
menjalani ijtihad ilmiah di salah satu universitas. Orang yang mendapat gelar
sarjana berarti telah menjalani proses ilmiah yang melibatkan pengajaran,
penelitian dan pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi itulah yang semestinya
menjadi amalan semua orang sebelum mendapatkan gelar kesarjanaannya.
Apabila
semua universitas berjalan dengan mengacu pada dharma itu, banyak temuan-temuan
keilmuan baru yang akan dihasilkan. Penelitian akan memberikan input informasi
baru untuk universitas agar dipelajari, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai
bahan kajian bersama mahasiswa. Perolehan dari semua penelitian dan pengajaran
itulah nantinya akan memberikan solusi dan pengembangan baru bagi realitas
sosial kemasyarakatan dan proses kemajuan pembangunan. Itulah spirit pengabdian
dari universitas.
Kalau
memakai logika sehat seperti itu, semestinya kian banyak sarjana dan
universitas di bangsa ini, maka proses pembangunan justru kian juga berkembang
pesat. Tapi mengapa bangsa Indonesia yang tiap tahun menggelontorkan gelar
kesarjanaan dari rahim universitas tapi malah proses pembangunannya kian
tersendat. Justru yang terjadi sarjana yang lahir hanya menambah statistik
pengangguran kaum terdidik yang menjadi beban bagi negara.
Pengangguran
kaum terdidik lahir dari rahim universitas tiap tahun. Sarjana yang semestinya
dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan karena telah lama
bergelut dengan tradisi ilmiah, ternyata hanya menjadi beban negara. Mereka
yang lahir dari rahim universitas tak memberikan efek apa-apa bagi perbaikan
bangsa ini.
Sarjana
ekonomi yang semestinya melahirkan teori ekonomi baru untuk mengeluarkan krisis
kemiskinan yang melanda bangsa ini ternyata utopis. Sarjana pendidikan yang
diharapkan dapat memberikan warna baru bagi sistem pengajaran di lembaga
sekolah, ternyata justru peristiwa tawuran antarpelajar kian marak dan arah
pendidikan nasional yang kian tak menentu. Tak jauh beda dengan sarjana hukum
yang semestinya memberikan efek bagi perbaikan hukum, ternyata hanya membawa
penegakan hukum yang ada di bangsa ini berjalan dengan terseok-seok.
Menurut
Prof Dr Winarno Surakhmad (2009), sejarah perkembangan universitas di Indonesia
bukanlah sejarah pengembangan keilmuan, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai
sosialisasi pengawetan ilmu. Proses melahirkan ilmu-ilmu baru nyaris bisa
dikatakan minim lahir dari universitas, dan yang ada adalah proses pelanggengan
ilmu-ilmu dari luar yang sudah ada sejak dulu terus dipertahankan dari generasi
ke generasi tanpa ada perubahan.
Universitas
yang tidak melakukan proses pembaruan keilmuan inilah yang akan mengalami
proses kemandekan. Kita boleh bangga universitas di negeri ini secara kuantitas
tiap tahun tumbuh pesat, tapi di sisi yang lain kualitas pengembangan keilmuan
yang ada di tiap-tiap universitas mengalami stagnasi.
Tri
Dharma Perguruan tinggi yang menjadi semboyan dan falsafah universitas kita
ternyata hanya menjadi ilusi. Universitas kita, meminjam bahasanya Winarno
Surakhmad, lebih tepat disebut sebagai teaching university dibanding dengan
universitas riset. Teaching university lebih suka mengajar dibanding dengan
melakukan proses penyelidikan dan penelitian di lapangan. Teaching university
hanya menjadi pemakai pengetahuan yang sudah ada sejak dulu, dibanding dengan
menghasilkan proses pembaruan keilmuan. Lebih tepatnya teaching university
hanya sebagai pengkonsumsi ilmu pengetahuan dibanding dengan memproduksi
pengetahuan baru.
Kemandekan
proyek pengetahuan di tingkatan universitas itulah yang akan melahirkan sarjana
pengangguran. Pengetahuan yang sudah didapat dari rahim universitas ternyata
dalam konteks realitas kehidupan sosial telah menjadi bahan rongsokan yang tak
laku di pasaran. Sarjana sudah tak mampu lagi membaca kemungkinan-kemungkinan masa
depan karena aktivitas di universitas hanya sekadar pengajaran dari kepingan
pengetahuan yang dipecahkan menjadi beberapa sistem kredit semester (SKS) dan
miskin penelitian yang bisa menjadi pijakan memprediksi kemungkinan masa depan.
Dengan
demikian, sarjana Indonesia selayaknya menjadi bahan refleksi bersama bagi
universitas untuk melakukan proses transformasi pada arah yang lebih progresif.
Universitas semestinya bisa menjadikan Tri Dharma perguruan tinggi sebagai
pilar gerak. Universitas yang selama ini hanya menjadi bahan pengawet
pengetahuan, selayaknya berubah menjadi agen memproduksi pengetahuan yang
setiap saat siap dan sigap melakukan penyelidikan dan penelitian.
Dengan
intensitas penelitian yang kian tinggi, universitas bisa membaca kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga universitas bisa melahirkan
metode keilmuan baru yang sanggup untuk menangkis problem sosial di masa yang
akan datang. Sarjana yang lahir bukanlah sarjana yang banci dan gagap akan
realitas sosial. Tapi sarjana yang lahir akan sanggup beradaptasi dan mampu
memainkan fungsi sosialnya bagi proses pembangunan bangsa Indonesia.
Angka pengangguran terdidik, terutama sarjana makin
meningkat tajam. Para sarjana merupakan pengangguran potensial, namun perlu
investasi besar untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka. Nyaris tak ada
lowongan kerja level menengah yang tak dibanjiri sarjana. Kondisi ini
memprihatinkan. Sementara krisis keuangan global makin membuat para sarjana
kesulitan kesempatan kerja.
Data
Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan,
perguruan tinggi (PT) di Indonesia tahun ini menciptakan 900.000 sarjana
menganggur. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi menjadi
pengangguran.
B. PENYEBAB SARJANA PENGANGGURAN
Jika pada tahun 2006 saja terdapat
data yang menyatakan bahwa 183.629 orang sarjana yang telah menjadi
pengangguran, kemudian pada tahun 2007 meningkat tajam menjadi 409.890 orang,
tentunya data tersebut semakin memperkuat stereotip yang mengatakan
bahwa lembaga pendidikan tingkat tinggi memang belum mampu mengemban amanat
untuk mencetak para akademisi yang punya skill atau keterampilan kerja. Ketika
realitas tersebut tengah terjadi, maka sangatlah dibutuhkan sebuah evaluasi
mutlak dari seluruh elemen pendidikan sebagai wujud adanya tanggung jawab moral
terhadap para sarjana.
Meskipun demikian, kita juga tidak
dapat membebankan kesalahan tersebut secara penuh pada lembaga pendidikan
tersebut. Artinya, ketika permasalahan tersebut telah menjadi prolem bersama (kolektif),
dari berbagai kalangan harus bahu membahu untuk mengadakan evaluasi guna
mencari solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Ada
tiga faktor yang memengaruhi tingginya pengangguran mahasiswa, pertama adalah
faktor eksternal, yaitu menyempitnya lapangan kerja yang ada, pesatnya lulusan
PT tidak diimbangi dengan permintaan dari dunia usaha. Kedua dari PT,
kebanyakan PT tidak mempersiapkan para lulusan untuk memiliki kompetensi yang
memadai dan menjadikan mahasiswa mandiri. Dan, yang terakhir adalah faktor
internal, yaitu dari sarjana itu sendiri, ketika kuliah mereka justru tidak
memanfaatkan waktu untuk mengambil ilmu semaksimal mungkin.
Mereka
hanya mengejar nilai tanpa memikirkan pengalaman. Padahal, kompetensi seseorang
dibentuk dalam proses yang lama dan berkesinambungan.Faktor kedualah yang
memberikan andil paling besar dalam memperbanyak pengangguran mahasiswa. Banyak
PT tetap beroperasi meskipun tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai,
sehingga tidak dapat memberikan kompetensi mahasiswa. PT menjadi sebuah
industri, tidak menerima kebutuhan industri, tidak mampu mendidik mahasiswa
yang berkualitas.
Yang telah menjadi faktor utama
penyebab tingginya jumlah pengangguran dari kalangan sarjana adalah kurangnya
atau tidak dimilikinya bekal ketrampilan (basic skill) pada para
sarjana. Oleh karenya, para sarjana perguruan tinggi seyogya-nya
memiliki ketrampilan khusus yang menjadi ciri khas dari keahlian individu
mereka. Pada saat itu-lah, lembaga pendidikan mengambil perannya secara optimal
sebagai lembaga yang dapat memberi bekal skill atau keahlian tersebut.
Selain itu, melihat kesempatan
lapangan pekerjaan selama ini yang memang belum sebanding dengan jumlah lulusan
universitas, Atmosfer perguruan tinggi lewat kelembagaan kemahasiswaan sudah
mendorong terbangungnya kompetensi ini.
Factor lain yang menjadi penyebab
sarjana pengangguran yaitu karena sistem pembelajaran dan para pengajar,
termasuk pengelola di perguruan tinggi lebih berfokus bagaimana menyiapkan para
mahasiswa agar cepat lulus dan terserap di dunia kerja. Bukannya lulus untuk
menciptakan lapangan pekerjaaan baru.
Rata-rata para sarjana tersebut, malu
melakukan pekerjaan sebagai petani atau bekerja di bidang UKM, mereka juga
enggan merintis karir Dari bawah dengan gaji pas-pasan. Mereka hanya berharap
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan penghasilan yang tinggi dan karena
terpengaruh oleh stigma bahwa sarjana tidak boleh melakukan pekerjaan kasar.
Selain itu, cara pandang
masyarakat terhadap para sarjana juga menjadi penyebab tingginya angka
pengangguran. Masyarakat menilai pekerjaan di sektor pertanian dan UKM tidak
layak bagi para sarjana.
C. SOLUSI
MENGATASI SARJANA PENGANGGURAN
Solusi
yang utama adalah Perguruan Tinggi harus dapat mengevaluasi diri, sehingga
dapat menyiapkan sarjana menjadi pribadi yang percaya diri sehingga memiliki
jiwa kewirausahaan. Saat ini mendapat pekerjaan layak itu sulit, sehingga
banyak lulusan perguruan tinggi yang asal kerja. Bagi mereka yang penting kerja
dulu tanpa memikirkan kompetensi. Untuk itulah akreditasi Perguruan Tinggi
harus diperhatikan, pemerintah harus tegas menegur perguruan tinggi yang hanya
mencetak sarjana pengangguran.
Yang
sangat ironis saat ini adalah hasil salah satu survei dari Direktorat
Pendidikan Tinggi yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendidikan, justru
semakin tinggi pengangguran yang terjadi.
Ada
sinyalemen kegagalan dalam proses pendidikan kita. Padahal, untuk menjadi
lulusan yang siap kerja perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik,
terutama yang berhubungan dengan kewirausahawan. Memang saat ini banyak bursa
kerja, tetapi bursa kerja hanya membantu sedikit mengurangi pengangguran
sarjana.
Peluang
Emas Lulusan perguruan tinggi atau kalangan muda pencari kerja tentu tak akan
melewatkan tawaran peluang emas berkarier dari bursa kerja. Setiap ada bursa
kerja, setiap itu pula ratusan bahkan ribuan sarjana baru memadati ruangan
bursa kerja.
Pengembangan
technical skill dan soft skill bagi para mahasiswa juga memegang peran
tersendiri. Technical skill misalnya, antara lain kemampuan berbahasa asing.
Sementara itu, pengembangan soft skill contohnya, adalah menggelar pelatihan
bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, presentasi, negosiasi,
dan leadership. Saat ini yang diperlukan adalah mengubah mindset dari sarjana.
Saat ini berkembang pemikiran bahwa seseorang dianggap bekerja apabila menjadi
pegawai negeri sipil atau pegawai kantoran, sedangkan apabila membuka toko,
bengkel, warung, servis hp, sablon (berwirausaha), tidak dianggap bekerja walau
terkadang penghasilannya per bulan lebih tinggi daripada gaji pokok seorang
PNS.
Keuntungan
dari pembentukan mindset kewirausahaan adalah, selain menumbuhkan semangat
berwirausaha, juga akan mampu menjadikan pola hidup sarjana lebih efisien dalam
mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, lebih disiplin, tertib, kreatif,
inovatif, produktif, tidak mudah menuntut dan mengeluh dalam menghadapi
permasalahan sebagaimana karakter seorang wirausaha.
Beberapa upaya atau solusi yang
sesuai dengan aplikasi di lapangan seperti:
Pertama, memperbaiki skill para
sarjana dengan cara membuat kurikulum yang memiliki standar kompetensi skill
atau keterampilan. Dengan upaya itu maka secara otomatis para sarjana diharapkan
dapat membuka lapangan pekerjaannya sendiri tanpa harus menunggu lahan yang
benar-benar sesuai dengan skill yang dimilikinya. Sebab mereka telah memiliki
keterampilan yang matang, meskipun mereka harus melewati proses yang cukup
panjang. Ini juga memiliki arti bahwa lembaga pendidikan tidak hanya membekali
mahasiswanya dengan satu jenis ketrampilan maupun skill namun harus dengan
banyak variasi skill.
Kedua, lembaga pendidikan harus
menjalin kerjasama dengan pemerintah, dan masyarakat guna memperluas lahan
lapangan pekerjaan. Kerjasama yang terjalin erat, terutama kerjasama di antara
lembaga pendidikan dan pemerintah, diharapkan mempermudah para sarjana dalam
mengakses berbagai hal yang terkait dengan job-job pekerjaan atau link-link
pekerjaan. Artinya, lembaga pendidikan bukanlah sebuah sistem dalam suatu
pendidikan yang dapat berdiri sendiri, namun ia adalah sebuah sistem ke-eksistensi-an
dan ke-efisiensian-nya dalam hal berhasil dan tidaknya proses
pembelajaran sangat dipengaruhi dengan keberadan sistem di luarnya, yakni
pemerintah dan masyarakat.
Ketiga,
lembaga pendidikan harus segera mempersiapkan ataupun membuat kurikulum yang
tidak hanya berfokus pada tujuan (goal) dari proses pembelajaran dalam
pendidikan. Lebih dari itu, ia harus benar-benar memperhatikan proses
pembelajaran dalam pendidikan yang terjadi pada para perserta didik. Maka, hal
ini bukanlah sebuah solusi yang hanya berbentuk wacana, namun ia harus menjadi
sebuah solusi yang menyentuh ranah praktis. Sebab yang paling urgen nan vital
dalam sebuah proses pembelajaran adalah seberapa berhasilnya pembelajaran
tersebut ketika ia telah berada dalam tataran praktis atau ketika peserta didik
dapat mengaplikasikan hasil pembelajaran dalam realitas kehidupannya.
Keempat, pemerintah perlu melakukan
pemetaan antara dunia pendidikan di kampus melalui program-program studi yang
ada dengan prediksi kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Tidak adanya link and
match antara lulusan universitas dengan lapangan pekerjaan yang tersedia adalah
pemicu tingginya pengangguran terdidik. Karena lulusan universitas tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang ada. Tidak heran ketika
kelompok terpelajar masih saja kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan bekal keilmuan yang telah diperolehnya. Pada dasarnya pemerintah harus
mampu membuat pemetaan kebutuhan tenaga kerja (national grand desing university
graduate). Pemetaan itu dirasa amat penting sebagai tujuan dan arah pendidikan
di kampus. Sehingga kampus selaku penggodok calon-calon tenaga kerja handal
yang profesional memiliki sinergitas sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat
dan dunia usaha kontemporer. Termasuk kemungkinan-kemungkinan bila harus
menutup dan membuka program studi yang ada.
Akhirnya, beberapa solusi di atas
kiranya dapat menyelesaikan problem yang terkait dengan pengangguran dari
kalangan para sarjana perguruan tinggi. Selain itu, memasuki era globalisasi
ini, pada satu sisi, manusia memang sangat dituntut oleh realitas kehidupannya
untuk terus dapat bersaing dengan individu yang lain guna mendapatkan sumber
penghidupan yang layak atau dalam memperoleh lapangan pekerjaan. Namun, pada
sisi yang lainnya, mereka juga sangat dituntut untuk memperbaiki keterampilan
atau skillnya.
Terlebih bagi pemerintah yang
seharusnya lebih bertanggungjawab dan memiliki peran serta andil yang sangat
urgen akan hal ini. Harapannya pemerintah dapat menciptakan keseimbangan antara
dunia pendidikan (universitas) dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Baik dalam
segi pengembangannya maupun proses kegiatan aplikasinya. Materi yang
ditanamkannya pun minimal mencakup pada pengembangan komunikasi, wawasan,
kemandirian dan kemasyarakatan. Hal ini akan menjadikan orientasi bukan sekedar
melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do) tetapi
menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to be).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.