Jumat, 23 September 2011

SARJANA PENGANGGURAN


TUGAS KELOMPOK
PENDIDIKAN PANCASILA
SARJANA PENGANGGURAN
Dra.DWI TYAS UTAMININGSIH M.H







OLEH
AFLAH MUFIDATUL (10311681)
AULIA BAHADURI (10311693)
BANJAR AYU ASTUTI (10311695)
DARMA IRAWAN (10311698)
DENITA JULIANA GULTOM (10311700)
DESSY ALVIANTI (10311701)
DEWI KURNIA PUTRI (10311703)
DWI WAHYU AGUSTINA (10311680)
SEPTI PUSPITASARI (10311653)
YENI ARISTA (10311669)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
KELAS B
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
LAMPUNG
2010





KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat, karunia, dan petunjuk-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan cukup baik dengan topic yaitu “SARJANA PENGANGGURAN”.
Walaupun kami tahu makalah ini masih banyak sekali kekurangannya. Sehingga kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian, sehingga jika dikemudian hari kami menyusun makalah akan lebih baik.


Metro,    November 2010


Penyusun



PENDAHULUAN

Realita lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya pada tingkat perguruan tinggi patut untuk mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, khususnya pemerintah dan tak terkecuali dari kalangan perguruan tinggi itu sendiri. Realitas yang menyatakan bahwa belum mapannya para sarjana perguruan tinggi, dengan kata lain banyaknya pengangguran yang berasal dari kalangan ini merupakan salah satu persoalan yang memantik keprihatinan bagi siapapun. Para sarjana yang seharusnya memperoleh pekerjaan yang layak setelah mereka menyelesaikan beban akademiknya seolah tidak siap menghadapi realitas kehidupan yang semakin kompleks ini. Pasca menyandang gelar sarjana atau selepas diwisuda, kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka sendiri dan pihak lembaga pendidikan. Realitas ini seakan memperlebar borok lembaga pendidikan kita yang terkesan tidak dapat mencetak para sarjana yang langsung siap kerja atau memiliki kompetensi.
Bagaimana tidak, lembaga pendidikan yang semula diharapkan dapat memberi bekal para mahasiswanya dengan adanya skill atau ketrampilan tertentu yang pada akhirnya nanti dapat menghantarkan mereka untuk siap bekerja sesuai dengan jurusan akademiknya, ternyata belum dapat mencetak para sarjana yang benar-benar mumpuni, kompeten di bidangnya. Dalam hal ini, tentunya ada kesalahan teknis maupun non-teknis terkait dengan sistem pendidikan suatu lembaga pendidikan tersebut
Makin banyak saja sarjana lulusan perguruan tinggi Indonesia jadi pengangguran. Jumlahnya kini mencapai 2,6 juta orang dari angka total pengangguran nasional sekitar 40 juta. Sebanyak 1,2 juta dari sarjana jadi penganggur terbuka, 1,4 juta lainnya setengah pengangguran.Mereka merupakan lulusan perguruan tinggi baik sarjana maupun diploma. Sedangkan penyebab pengangguran karena minimnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat keahlian.Seharusnya, lulusan perguruan tinggi harus memiliki keahlian, misalnya di bidang wirausaha (bisnis).

A.    SARJANA PENGANGGURAN
Bukan hal yang mustahil, bahwa gelar sarjana dengan IPK cumlaude merupakan sebuah penipuan, mengingat saat ini kita hidup di tengah kapitalisasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Semuanya dapat dibeli dengan uang, sehingga perguruan tinggi pun banyak mencetak sarjana yang tidak memiliki skill apapun, tak heran jika sarjana yang menganggur kian menjamur setiap tahunnya.
Sangat miris memang ketika terdapat banyak fakta di Indonesia tentang seseorang berstatus sarjana tetapi ia tidak memiliki pekerjaan. Menurut Suara Merdeka, "Sampai akhir 2005, tingkat pengangguran merangkak naik mencapai tidak kurang dari 9,9%. Pada awal 2006, tingkat tersebut diperkirakan masih akan meningkat menjadi lebih dari 11 %". Sementara Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 menulis, "Per Februari 2005, dari 155,5 juta angkatan kerja, 10,85 juta adalah pengangguran terbuka. Padahal per Agustus 2000, dari 95,70 juta angkatan kerja, "hanya" 5,87 juta yang merupakan pengangguran terbuka."
Jika dilihat dari realitas yang ada, memang kuantitas lulusan perguruan tinggi itu tidak sebanding dengan kualitas. Dengan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, Indonesia terus menerus menjadi negara pengekor terhadap negara adidaya yang memiliki kekuasaan, tanpa mampu menentukan sikap sendiri. Pun dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan bagi tenaga ahli dan terdidik di Indonesia, Indonesia seakan kekurangan dana, sangat tidak sebanding dengan kekayaan alam Indonesia yang melimpah yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara. Kompas edisi Sabtu, 10 Mei 2006 juga menulis, "Bangsa ini juga mengalami brain drain untuk sumber daya manusianya. Tenaga terdidik dan progesional yang seharusnya bisa ikut mambangun negara ini dibajak atau memilih hengkan ke negara lain."
Sarjana bukanlah hanya sekadar gelar. Itu adalah simbol bagi tiap orang yang telah menjalani ijtihad ilmiah di salah satu universitas. Orang yang mendapat gelar sarjana berarti telah menjalani proses ilmiah yang melibatkan pengajaran, penelitian dan pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi itulah yang semestinya menjadi amalan semua orang sebelum mendapatkan gelar kesarjanaannya.
Apabila semua universitas berjalan dengan mengacu pada dharma itu, banyak temuan-temuan keilmuan baru yang akan dihasilkan. Penelitian akan memberikan input informasi baru untuk universitas agar dipelajari, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai bahan kajian bersama mahasiswa. Perolehan dari semua penelitian dan pengajaran itulah nantinya akan memberikan solusi dan pengembangan baru bagi realitas sosial kemasyarakatan dan proses kemajuan pembangunan. Itulah spirit pengabdian dari universitas.
Kalau memakai logika sehat seperti itu, semestinya kian banyak sarjana dan universitas di bangsa ini, maka proses pembangunan justru kian juga berkembang pesat. Tapi mengapa bangsa Indonesia yang tiap tahun menggelontorkan gelar kesarjanaan dari rahim universitas tapi malah proses pembangunannya kian tersendat. Justru yang terjadi sarjana yang lahir hanya menambah statistik pengangguran kaum terdidik yang menjadi beban bagi negara.
Pengangguran kaum terdidik lahir dari rahim universitas tiap tahun. Sarjana yang semestinya dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan karena telah lama bergelut dengan tradisi ilmiah, ternyata hanya menjadi beban negara. Mereka yang lahir dari rahim universitas tak memberikan efek apa-apa bagi perbaikan bangsa ini.
Sarjana ekonomi yang semestinya melahirkan teori ekonomi baru untuk mengeluarkan krisis kemiskinan yang melanda bangsa ini ternyata utopis. Sarjana pendidikan yang diharapkan dapat memberikan warna baru bagi sistem pengajaran di lembaga sekolah, ternyata justru peristiwa tawuran antarpelajar kian marak dan arah pendidikan nasional yang kian tak menentu. Tak jauh beda dengan sarjana hukum yang semestinya memberikan efek bagi perbaikan hukum, ternyata hanya membawa penegakan hukum yang ada di bangsa ini berjalan dengan terseok-seok.
Menurut Prof Dr Winarno Surakhmad (2009), sejarah perkembangan universitas di Indonesia bukanlah sejarah pengembangan keilmuan, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai sosialisasi pengawetan ilmu. Proses melahirkan ilmu-ilmu baru nyaris bisa dikatakan minim lahir dari universitas, dan yang ada adalah proses pelanggengan ilmu-ilmu dari luar yang sudah ada sejak dulu terus dipertahankan dari generasi ke generasi tanpa ada perubahan.
Universitas yang tidak melakukan proses pembaruan keilmuan inilah yang akan mengalami proses kemandekan. Kita boleh bangga universitas di negeri ini secara kuantitas tiap tahun tumbuh pesat, tapi di sisi yang lain kualitas pengembangan keilmuan yang ada di tiap-tiap universitas mengalami stagnasi.
Tri Dharma Perguruan tinggi yang menjadi semboyan dan falsafah universitas kita ternyata hanya menjadi ilusi. Universitas kita, meminjam bahasanya Winarno Surakhmad, lebih tepat disebut sebagai teaching university dibanding dengan universitas riset. Teaching university lebih suka mengajar dibanding dengan melakukan proses penyelidikan dan penelitian di lapangan. Teaching university hanya menjadi pemakai pengetahuan yang sudah ada sejak dulu, dibanding dengan menghasilkan proses pembaruan keilmuan. Lebih tepatnya teaching university hanya sebagai pengkonsumsi ilmu pengetahuan dibanding dengan memproduksi pengetahuan baru.
Kemandekan proyek pengetahuan di tingkatan universitas itulah yang akan melahirkan sarjana pengangguran. Pengetahuan yang sudah didapat dari rahim universitas ternyata dalam konteks realitas kehidupan sosial telah menjadi bahan rongsokan yang tak laku di pasaran. Sarjana sudah tak mampu lagi membaca kemungkinan-kemungkinan masa depan karena aktivitas di universitas hanya sekadar pengajaran dari kepingan pengetahuan yang dipecahkan menjadi beberapa sistem kredit semester (SKS) dan miskin penelitian yang bisa menjadi pijakan memprediksi kemungkinan masa depan.
Dengan demikian, sarjana Indonesia selayaknya menjadi bahan refleksi bersama bagi universitas untuk melakukan proses transformasi pada arah yang lebih progresif. Universitas semestinya bisa menjadikan Tri Dharma perguruan tinggi sebagai pilar gerak. Universitas yang selama ini hanya menjadi bahan pengawet pengetahuan, selayaknya berubah menjadi agen memproduksi pengetahuan yang setiap saat siap dan sigap melakukan penyelidikan dan penelitian.
Dengan intensitas penelitian yang kian tinggi, universitas bisa membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga universitas bisa melahirkan metode keilmuan baru yang sanggup untuk menangkis problem sosial di masa yang akan datang. Sarjana yang lahir bukanlah sarjana yang banci dan gagap akan realitas sosial. Tapi sarjana yang lahir akan sanggup beradaptasi dan mampu memainkan fungsi sosialnya bagi proses pembangunan bangsa Indonesia.
Angka  pengangguran terdidik, terutama sarjana makin meningkat tajam. Para sarjana merupakan pengangguran potensial, namun perlu investasi besar untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka. Nyaris tak ada lowongan kerja level menengah yang tak dibanjiri sarjana. Kondisi ini memprihatinkan. Sementara krisis keuangan global makin membuat para sarjana kesulitan kesempatan kerja.
Data Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, perguruan tinggi (PT) di Indonesia tahun ini menciptakan 900.000 sarjana menganggur. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran.

B.        PENYEBAB SARJANA PENGANGGURAN
Jika pada tahun 2006 saja terdapat data yang menyatakan bahwa 183.629 orang sarjana yang telah menjadi pengangguran, kemudian pada tahun 2007 meningkat tajam menjadi 409.890 orang, tentunya data tersebut semakin memperkuat stereotip yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan tingkat tinggi memang belum mampu mengemban amanat untuk mencetak para akademisi yang punya skill atau keterampilan kerja. Ketika realitas tersebut tengah terjadi, maka sangatlah dibutuhkan sebuah evaluasi mutlak dari seluruh elemen pendidikan sebagai wujud adanya tanggung jawab moral terhadap para sarjana.
Meskipun demikian, kita juga tidak dapat membebankan kesalahan tersebut secara penuh pada lembaga pendidikan tersebut. Artinya, ketika permasalahan tersebut telah menjadi prolem bersama (kolektif), dari berbagai kalangan harus bahu membahu untuk mengadakan evaluasi guna mencari solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Ada tiga faktor yang memengaruhi tingginya pengangguran mahasiswa, pertama adalah faktor eksternal, yaitu menyempitnya lapangan kerja yang ada, pesatnya lulusan PT tidak diimbangi dengan permintaan dari dunia usaha. Kedua dari PT, kebanyakan PT tidak mempersiapkan para lulusan untuk memiliki kompetensi yang memadai dan menjadikan mahasiswa mandiri. Dan, yang terakhir adalah faktor internal, yaitu dari sarjana itu sendiri, ketika kuliah mereka justru tidak memanfaatkan waktu untuk mengambil ilmu semaksimal mungkin.
Mereka hanya mengejar nilai tanpa memikirkan pengalaman. Padahal, kompetensi seseorang dibentuk dalam proses yang lama dan berkesinambungan.Faktor kedualah yang memberikan andil paling besar dalam memperbanyak pengangguran mahasiswa. Banyak PT tetap beroperasi meskipun tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai, sehingga tidak dapat memberikan kompetensi mahasiswa. PT menjadi sebuah industri, tidak menerima kebutuhan industri, tidak mampu mendidik mahasiswa yang berkualitas.
Yang telah menjadi faktor utama penyebab tingginya jumlah pengangguran dari kalangan sarjana adalah kurangnya atau tidak dimilikinya bekal ketrampilan (basic skill) pada para sarjana. Oleh karenya, para sarjana perguruan tinggi seyogya-nya memiliki ketrampilan khusus yang menjadi ciri khas dari keahlian individu mereka. Pada saat itu-lah, lembaga pendidikan mengambil perannya secara optimal sebagai lembaga yang dapat memberi bekal skill atau keahlian tersebut.
Selain itu, melihat kesempatan lapangan pekerjaan selama ini yang memang belum sebanding dengan jumlah lulusan universitas, Atmosfer perguruan tinggi lewat kelembagaan kemahasiswaan sudah mendorong terbangungnya kompetensi ini.
Factor lain yang menjadi penyebab sarjana pengangguran yaitu karena sistem pembelajaran dan para pengajar, termasuk pengelola di perguruan tinggi lebih berfokus bagaimana menyiapkan para mahasiswa agar cepat lulus dan terserap di dunia kerja. Bukannya lulus untuk menciptakan lapangan pekerjaaan baru.
            Rata-rata para sarjana tersebut, malu melakukan pekerjaan sebagai petani atau bekerja di bidang UKM, mereka juga enggan merintis karir Dari bawah dengan gaji pas-pasan. Mereka hanya berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan penghasilan yang tinggi dan karena terpengaruh oleh stigma bahwa sarjana tidak boleh melakukan pekerjaan kasar.
Selain itu, cara pandang masyarakat terhadap para sarjana juga menjadi penyebab tingginya angka pengangguran. Masyarakat menilai pekerjaan di sektor pertanian dan UKM tidak layak bagi para sarjana.

C.    SOLUSI  MENGATASI  SARJANA PENGANGGURAN
Solusi yang utama adalah Perguruan Tinggi harus dapat mengevaluasi diri, sehingga dapat menyiapkan sarjana menjadi pribadi yang percaya diri sehingga memiliki jiwa kewirausahaan. Saat ini mendapat pekerjaan layak itu sulit, sehingga banyak lulusan perguruan tinggi yang asal kerja. Bagi mereka yang penting kerja dulu tanpa memikirkan kompetensi. Untuk itulah akreditasi Perguruan Tinggi harus diperhatikan, pemerintah harus tegas menegur perguruan tinggi yang hanya mencetak sarjana pengangguran.
Yang sangat ironis saat ini adalah hasil salah satu survei dari Direktorat Pendidikan Tinggi yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendidikan, justru semakin tinggi pengangguran yang terjadi.
Ada sinyalemen kegagalan dalam proses pendidikan kita. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan kewirausahawan. Memang saat ini banyak bursa kerja, tetapi bursa kerja hanya membantu sedikit mengurangi pengangguran sarjana.
Peluang Emas Lulusan perguruan tinggi atau kalangan muda pencari kerja tentu tak akan melewatkan tawaran peluang emas berkarier dari bursa kerja. Setiap ada bursa kerja, setiap itu pula ratusan bahkan ribuan sarjana baru memadati ruangan bursa kerja.
Pengembangan technical skill dan soft skill bagi para mahasiswa juga memegang peran tersendiri. Technical skill misalnya, antara lain kemampuan berbahasa asing. Sementara itu, pengembangan soft skill contohnya, adalah menggelar pelatihan bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, presentasi, negosiasi, dan leadership. Saat ini yang diperlukan adalah mengubah mindset dari sarjana. Saat ini berkembang pemikiran bahwa seseorang dianggap bekerja apabila menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai kantoran, sedangkan apabila membuka toko, bengkel, warung, servis hp, sablon (berwirausaha), tidak dianggap bekerja walau terkadang penghasilannya per bulan lebih tinggi daripada gaji pokok seorang PNS.
Keuntungan dari pembentukan mindset kewirausahaan adalah, selain menumbuhkan semangat berwirausaha, juga akan mampu menjadikan pola hidup sarjana lebih efisien dalam mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, lebih disiplin, tertib, kreatif, inovatif, produktif, tidak mudah menuntut dan mengeluh dalam menghadapi permasalahan sebagaimana karakter seorang wirausaha.
Beberapa upaya atau solusi yang sesuai dengan aplikasi di lapangan seperti:
Pertama, memperbaiki skill para sarjana dengan cara membuat kurikulum yang memiliki standar kompetensi skill atau keterampilan. Dengan upaya itu maka secara otomatis para sarjana diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaannya sendiri tanpa harus menunggu lahan yang benar-benar sesuai dengan skill yang dimilikinya. Sebab mereka telah memiliki keterampilan yang matang, meskipun mereka harus melewati proses yang cukup panjang. Ini juga memiliki arti bahwa lembaga pendidikan tidak hanya membekali mahasiswanya dengan satu jenis ketrampilan maupun skill namun harus dengan banyak variasi skill.
Kedua, lembaga pendidikan harus menjalin kerjasama dengan pemerintah, dan masyarakat guna memperluas lahan lapangan pekerjaan. Kerjasama yang terjalin erat, terutama kerjasama di antara lembaga pendidikan dan pemerintah, diharapkan mempermudah para sarjana dalam mengakses berbagai hal yang terkait dengan job-job pekerjaan atau link-link pekerjaan. Artinya, lembaga pendidikan bukanlah sebuah sistem dalam suatu pendidikan yang dapat berdiri sendiri, namun ia adalah sebuah sistem ke-eksistensi-an dan ke-efisiensian-nya dalam hal berhasil dan tidaknya proses pembelajaran sangat dipengaruhi dengan keberadan sistem di luarnya, yakni pemerintah dan masyarakat.
 Ketiga, lembaga pendidikan harus segera mempersiapkan ataupun membuat kurikulum yang tidak hanya berfokus pada tujuan (goal) dari proses pembelajaran dalam pendidikan. Lebih dari itu, ia harus benar-benar memperhatikan proses pembelajaran dalam pendidikan yang terjadi pada para perserta didik. Maka, hal ini bukanlah sebuah solusi yang hanya berbentuk wacana, namun ia harus menjadi sebuah solusi yang menyentuh ranah praktis. Sebab yang paling urgen nan vital dalam sebuah proses pembelajaran adalah seberapa berhasilnya pembelajaran tersebut ketika ia telah berada dalam tataran praktis atau ketika peserta didik dapat mengaplikasikan hasil pembelajaran dalam realitas kehidupannya.
Keempat, pemerintah perlu melakukan pemetaan antara dunia pendidikan di kampus melalui program-program studi yang ada dengan prediksi kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Tidak adanya link and match antara lulusan universitas dengan lapangan pekerjaan yang tersedia adalah pemicu tingginya pengangguran terdidik. Karena lulusan universitas tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang ada. Tidak heran ketika kelompok terpelajar masih saja kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bekal keilmuan yang telah diperolehnya. Pada dasarnya pemerintah harus mampu membuat pemetaan kebutuhan tenaga kerja (national grand desing university graduate). Pemetaan itu dirasa amat penting sebagai tujuan dan arah pendidikan di kampus. Sehingga kampus selaku penggodok calon-calon tenaga kerja handal yang profesional memiliki sinergitas sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha kontemporer. Termasuk kemungkinan-kemungkinan bila harus menutup dan membuka program studi yang ada.
Akhirnya, beberapa solusi di atas kiranya dapat menyelesaikan problem yang terkait dengan pengangguran dari kalangan para sarjana perguruan tinggi. Selain itu, memasuki era globalisasi ini, pada satu sisi, manusia memang sangat dituntut oleh realitas kehidupannya untuk terus dapat bersaing dengan individu yang lain guna mendapatkan sumber penghidupan yang layak atau dalam memperoleh lapangan pekerjaan. Namun, pada sisi yang lainnya, mereka juga sangat dituntut untuk memperbaiki keterampilan atau skillnya.
Terlebih bagi pemerintah yang seharusnya lebih bertanggungjawab dan memiliki peran serta andil yang sangat urgen akan hal ini. Harapannya pemerintah dapat menciptakan keseimbangan antara dunia pendidikan (universitas) dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Baik dalam segi pengembangannya maupun proses kegiatan aplikasinya. Materi yang ditanamkannya pun minimal mencakup pada pengembangan komunikasi, wawasan, kemandirian dan kemasyarakatan. Hal ini akan menjadikan orientasi bukan sekedar melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do) tetapi menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to be).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.